Thursday, June 9, 2011

(33) ABU AIYUB AL-ANSHAR

(34)
ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB
Pengurus air minum untuk Kota Suci Mekah dan Madinah (Haramain).

Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan yang sangat,
keluarlah Amirul Mu’minin Umar bersama-sama Kaum Muslimin ke lapangan terbuka, melakukan shalat istisqa’ (minta hujan),
dan berdu’a merendah­kan diri kepada Allah yang Penyayang agar mengirimkan awan dan menurunkan hujan kepada mereka..
Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan tangan kanannya, diangkatkannya ke arah langit sembari ber­kata:
”Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan perantaraan Nabi-Mu,
pada masa beliau masih berada di antara kami . . . .
Ya Allah, sekarang kami meminta hujan pula perantaraan paman Nabi-Mu, maka mohonlah kami diberi hujan … !”
Belum lagi sempat Kaum Muslimin meninggalkan tempat mereka, datanglah awan tebal dan hujan lebat pun turunlah,
mendatangkan sukacita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para shahabat pun menemui Abbas,
memagut dan men­ciumnya Serta mengambil berkat dengannya sambil berkata:
”Selamat kami ucapkan untuk anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah – Madinah) … !”
Nah, siapakah dia penyedia air minum Haramain ini?
Dan siapakah orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah, padahal.
Umar sudah tak asing lagi bagi kita ketaqwaannya, kedahuluannya masuk Islam,
serta kedudukannya di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya serta di sisi orang-orang beriman . . . ?
Ia adalah Abbas, paman Rasulullah saw. Rasul memulyakannya sebagaimana ia pun mencintainya,
juga memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan budi pekertinya, sabdanya:
“Inilah orang tuaku yang masih ada ……
Inilah dia Abbas bin Abdul Mutthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah … !
Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi dan Shahabatnya, demikian pula halnya Abbas paman dan teman sebayanya,
se­moga Allah ridla keduanya … !
Perbedaan umur antara keduanya hanya terpaut dua atau .tiga tahun yakni lebih tua Abbas dari Rasulullah.
Demikianlah, Muhammad saw dan pamannya Abbas merupakan dua orang anak yang hampir sebaya
dan dua orang pemuda dari satu ang­katan.
Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan keakraban
dan terjalin persabatan yang intim antara keduanya,tetapi persamaan umur tidak kurang berpengaruhnya.
Hal lain yang menyebabkan Nabi menempatkan Abbas di tempat pertama, ialah karena akhlaq dan budi pekertinya.
Abbas adalah seorang yang pemurah, sangat pemurah, seolah-olah dialah paman atau bapak kepemurahan . . . .
Ia selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturrahmi dan kekeluargaan,
dan untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta . . . .
Di samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat genius . . . .
dan dengan kecerdasannya ini yang disokong oleh kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraisy,
ia sanggup membela Rasul saw. dari bencana dan kejahatan mereka,
ketika beliau melahirkan da’wahnya secara terang-terangan.
Dalam pembicaraan kita tentang Hamzah terdahulu,
kita mengenal Hamzah yang selalu menentang kedurhakaan orang Quraisy
dan kebiadaban Abu Jahal dengan pedangnya yang arnpuh.
Adapun Abbas, ia menentangnya dengan kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfa’at bagi Islam
sebagaimana halnya senjata pedang yang bermanfa’at dalam membela haknya dan mempertahankannya … !
Maka Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali baru pada tahun pembebasan kota Mekah,
yang menyebabkan sebagian ahli sejarah memandangnya tergolong kepada orang­-orang yang belakangan masuk Islam,
tetapi riwayat-riwayat lain dalam sejarah memberitakannya termasuk orang-orang Islam angkatan pertama,
hanya Saja menyembunyikan keislam­annya itu ….
Berkatalah Abu Rafi’ khadam Rasulullah saw.:
“Aku adalah anak suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul Mutthalib,
dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, ahli bait …
ke­luarga Nabi … maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul.
Fadlal, dan aku pun juga masuk … hanya Abbas menyembunyi­kan keislamannya . . . !”
Inilah riwayat Abu Rafi’ yang men­ceritakan keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum perang Badar Dan kalau begitu,
waktu itu Abbas telah menganut Islam….
Beradanya ia di Mekah sesudah Nabi dan shahabat-shahabat­nya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah
direncana­kan dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaik­baiknya.
Orang-orang Quraisy pun tidak menyembunyikan keragu­-raguan mereka tentang hati kecil Abbas,
tetapi mereka tak punya alasan untuk memusuhinya,
apalagi pada lahirnya tingkah laku dan agamanya tidaklah bertentangan dengan kemauan mereka!
Hingga waktu datang perang Badar terbukalah kesempatan bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati
dan pen­dirian Abbas yang sesungguhnya . . . .
Sedang Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap gerak-gerik dan tipu muslihat busuk
yang direncanakan Quraisy dalam melampiaskan kejengkelannya dan mengatur permufakatan jahat mereka ….
Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah
orang Quraisy pun berhasil memaksanya maju berperang, suatu perbuatan yang tidak disukai dan dikehendakinya..!
Namun keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan sementara,
karena ternyata berbalik membawa kerugian dan kehancuran mereka….
Kedua golongan itu pun bertemulah di medan perang Badar . . . .
Pedang-pedang pun gemerincing beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan,
yang akan menentukan hidup mati dan akhir kesudahan kedua belah pihak ….
Rasulullah berseru di tengah-tengah para shahabatnya, katanya:
”Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim
dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa pergi berperang,
padahal sebenarnya mereka tidak hendak memerangi kita . . . oleh sebab itu siapa di antara kamu yang menemukannya,
maka janganlah ia dibunuhnya . . !
Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah membunuhnya . . . !
Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutthalib,
jangan membunuhnya karena orang­orang itu dipaksa untuk ikut berperang … !”
Dengan perintahnya ini tidak berarti Rasul hendak mem­berikan keistimewaan kepada pamannya Abbas,
karena tidak pada tempatnya dan bukan pula pada waktunya!
Dan bukanlah Muhammad saw. orangnya yang akan rela melihat kepada para shahabatnya berjatuhan
dalam pertempuran menegakkan yang haq, lalu membela pamannya dengan memberinya hak-hak isti­mewa,
di saat pertempuran sedang berlangsung, seandainya diketahuinya bahwa pamannya itu orang musyrik ….
Benar . . . ! Rasul yang pernah dilarang Allah memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib ..
hanya semata-mata memintakan ampun ,
sekalipun Abu Thalib banyak jasa dan pemberiannya terhadap Nabi Muhammad saw.
dan Islam berupa pembelaan dan pengurbanan . . . .
Tidaklah logis dan masuk akal jika ia akan mengatakan ke­pada orang-orang yang bertempur di perang Badar
memerangi bapak-bapak dan sanak-sanak saudara mereka dari golongan musyrik:
”Kecualikan oleh kalian dan jangan bunuh pamanku
Lain halnya kalau Rasul mengetahui pendirian pamannya yang sebenarnya,
dan ia tabu bahwa pamannya itu menyembu­nyikan keislamannya dalam dadanya,
sebagaimana diketahuinya pula jasa-jasanya yang tidak sedikit
serta pengabdian-pengabdian­nya yang tak terlihat terhadap Islam . . . serta diketahuinya pula belakangan,
bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami tekanan,
maka waktu itu adalah kewajiban Nabi untuk melepaskan orang yang mengalami nasib seperti ini dari marabahaya,
dan melindungi darahnya selama kemungkinan masih terbuka….
Seandainya Abu Bakhtari bin Harits (bukan sanak keluarga Nabi) yang tidak dikenal menyembunyikan keislamannya,
dan tidak pernah pula membela Islam walaupun secara diam-diam sebagaimana dilakukan Abbas,
paling-paling kelebihannya hanya karena ia tak pernah ikut-ikutan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy menyakiti
dan menganiaya Kaum Muslimin, dan tidak menyukai tindakan mereka yang demikian,
dan ia ikut dalam peperangan karena dipaksa dan ditekan ….
Seandainya Abu Bakhtari hanya disebabkan hal-hal itu telah berhasil mendapatkan syafa’at Rasulullah
untuk dilindungi darahnya serta nyawanya . . .
maka apakah seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan keislamannya . . . .
dan laki-laki ini pembelaannya terhadap Islam dapat dibuktikan secara nyata,
sedang yang lainnya secara diam-diam dan tersembunyi . . .
apakah tidak lebih berhak dan lebih pantas untuk mendapatkan syafaat tersebut . . . ?
Benarlah demikian dan tidak salah! Se­benarnya Abbas adalah orang Muslim dan pembela itu!
Dan marilah kita kembali ke belakang sejenak untuk meninjaunya!
Pada Bai’atul Aqabah Kedua, di mana sebanyak tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita perutusan Anshar datang ke Mekah
di musim haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan untuk merundingkan hijrah Nabi saw. ke Madinah,
waktu itulah Rasul menyampaikan berita perutusan dan bai’at ini kepada pamannya
karena Rasul sangat memper­cayainya dan memerlukan buah fikiran pamannya itu …

Tatkala tiba waktu berkumpul yang dilakukan secara sem­bunyi-sembunyi dan rahasia,
keluarlah Rasul bersama pamannya Abbas ke tempat orang-orang Anshar menunggu.
Abbas ingin menyelidiki dan menguji golongan ini sampai di mana kesetiaan mereka terhadap Nabi . . . .
Marilah kita persilakan salah seorang anggota perutusan itu untuk men­ceritakan kepada kita
peristiwa yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang itu. ialah Ka’ab bin Malik r.a. demikian ceritanya:
“. . .. Kami telah duduk menanti kedatangan Rasul di tengah jalan menuju bukit,
hingga akhirnya beliau datang dan ber­samanya Abbas bin Abdul Mutthalib.
Abbas pun angkat bicara katanya:
“Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad saw.
di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami,
sedang ia mem­punyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya.
Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian . . . .
Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya
dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya,
silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut!
Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian,
lebih baik dari sekarang kalian meninggalkannya … !”
Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam lagi keras ini
dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orang­orang Anshar . . .
untuk mengikuti kesan kata-kata itu dan jawabannya yang segera ….
Dan ia tidak hanya sampai di situ saja.
Kecerdasannya yang tinggi adalah kecerdasan praktis yang dapat menjangkau jauh
akan hakikat sesuatu bidang kenyataan, dan menghadapi setiap perspektifnya
sebagaimana layaknya seorang yang mempunyai perhitungan dan pengalaman.
Ketika itu dimulainya pula per­cakapannya dengan mengemukakan pertanyaan cerdik, demi­kian:
“Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda . ‘ ‘? “
Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya terhadap orang­orang Quraisy Abbas telah dapat menyimpulkan
bahwa pepe­rangan tak dapat tidak akan terjadi antara Islam dan kemusyrik­an!
Orang-orang Quraisy tak hendak mundur dari agamanya,
dari rasa keningratannya dan keingkarannya, sedang Islam Agama yang tetap haq itu tak akan mengalah
terhadap yang bathil mengenai haq-haqnya yang telah disyari’atkan . . . . Nah, apakah orang-orang Anshar ,,,
penduduk’ Madinah akan tahan berperang waktu terjadi nanti … ?
Apakah mereka, dalam bidang seniyudha dapat menandingi orangorang Quraisy
yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang?
Oleh karena inilah ia mengemukakan pertanyaannya yang lalu sebagai pan­cingan:
”Coba gambarkan kepadaku, bagaimana anda me­merangi musuh-musuh anda … !”
Ternyata orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini,
adalah laki-laki yang teguh kukuh laksana gunung … !
Belum sempat Abbas menyelesaikan bicaranya, terutama per­tanyaan yang merangsang dan menggairahkan itu
orang-orang itu sudah mulai angkat bicara . . . .
Abdullah bin Amer bin Hiram mulai menjawab pertanyaan tersebut:
“Demi Allah kami adalah keluarga prajurit .. . yang telah makan asam garamnya medan laga,
kami pusakai dari nenek moyang kami turun­-temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran,
pelempar lembing, memecah kepala setiap coaling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang . . . !”
Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri:
“Kalau begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?”
Jawab mereka
“Ada …. kami punya cukup banyak!”
Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah saw. dan orang-orang Anshar . . ,
percakapan yang insya Allah akan kami paparkan nanti dalam lembaran-lembaran yang akan datang ….
Demikianlah peranan Abbas dalam Bai’atul Aqabah . . . .
Baginya sama saja apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam berfikir,
tapi jelas peranannya sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan
tenggelam ke dalam kegelapan malam dan kekuatan membawa cahaya terbit menuju terang benderangnya siang.
Dalam peristiwa itu terlihat pula kejantanannya seorang pahlawan dan ketinggiannya seorang ilmuwan.
Pecahnya perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam
dan lemah lembut ini yang diperlihatkannya di arena pertempuran,
semacam kepah­lawanan yang akan memenuhi ruang dan masa,
yakni sewaktu ia sangat diperlukan dan keadaan amat memerlukan,
sementara pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya . . . !
Di tahun kedelapan hijrah, sesudah Allah membebaskan negeri Mekah bagi Rasul dan Agamanya,
sebagian kabilah yang berpengaruh di jazirah Arab
tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari Agama ini ….
Maka bersatulah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain,
lalu mengambil keputusan untuk melancar­kan serangan menentukan terhadap Rasulullah dan Kaum Mus­limin. . . .
Dan janganlah kita terpedaya mendengar kata-kata “kabilah”,
sehingga terbayang pada kita corak peperangan-peperangan yang diterjuni Rasul pada masa itu,
hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang gunung,
yang dilancarkan kabilah-­kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka … !
Mengetahui hakikat kenyataan ini tidak Saja memberikan kepada kita suatu penilaian yang teliti
bagi usaha luar biasa yang dapat memberikan ukuran yang sehat
dan dipercaya tentang nilai kemenangan besar yang telah dicapai oleh Islam dan orang­orang yang beriman,
dan suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang menonjol pada setiap kejayaan dan keme­nangan ini . . . !
Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar,
terdiri dari para prajurit perang yang keras, ganas dan ulet . . . .
Kaum Muslimin tampil dengan jumlah kekuatan dua belas ribu orang.
Tentu anda akan bertanya . . . duabelas ribu orang . . . ?
Ya benar, duabelas ribu orang yang telah membebaskan Mekah dari kehidupan anarsis,
kehidupan syirik dan kekejaman, kehidupan penyembahan berhala dan penguburan anak perempuan.
Yang telah membebaskan Mekah dari orang-orang yang mengusir Nabi dan ummat Islam,
bahkan dari kaum yang mengejar-kejar Nabi dan ummat Islam sampai Madinah.
Duabelas ribu orang yang telah mengibarkan panji-panji Islam di angkasa Mekah di atas puing-puing berhala,
dengan tidak setetes pun darah tertumpah . . . !
Suatu kemenangan yang membangkitkan kesombongan bagi sebagian Kaum Muslimin yang imannya masih lemah.
Ya, bagai­mana pun mereka adalah manusia, karenanya mereka jadi lemah berhadapan dengan kemegahan
yang dibangkitkan oleh jumlah mereka yang banyak dan organisasi yang rapi
serta kemenangan mereka yang besar di Mekah, hingga keluarlah ucapan mereka:
”Sekarang, dengan jumlah sebanyak ini, kita tak mungkin dapat dikalahkan lagi … !”
Karena segala peristiwa yang dialami Kaum Muslimin pada masa hidup Pasulullah merupakan cermin sejarah,
yang menjadi pendidikan bagi umatnya yang hidup kemudian,
maka peris­tiwa Hunain ini merupakan tonggak sejarah yang perlu di­perhatikan.
Suatu perjuangan suci tidak mungkin tercapai apabila di­campuri niat riya dan sikap congkak,
serta hanya didasarkan pada kekuatan dan jumlah pasukan.
Dalam perang Hunain ini Allah memberikan pelajaran pada mereka
walau harus ditebus dengan pengurbanan yang besar.
Pelajaran itu berupa kekalahan besar yang mendadak di awal peperangan ini,
hingga setelah mereka berendah diri memohon kepada Allah,
ampunan dan melepaskan diri dari alam materi serta mendekatkan diri pada inayat Ilahi,
meninggalkan ketergantungan kekuatan hanya atas pasukan,
lalu mengandalkan kekuatan Allah, barulah kekalahan mereka berbalik jadi kemenangan,
dan turunlah ayat al-Quranul Karim memperingat­kan Kaum Muslimin:
dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak,
maka ternyata itu tidak berguna sedikit pun
bagi kalian hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit,
lalu kalian ber­paling melarikan diri . . . !”
Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman,
dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksa-Nya orang-orang kafir! Dan itulah memang balasan bagi orang kafir … !”
(Q.S. 9 at- Taubat: 25 — 26)
Waktu itu suara Abbas dan keteguhan hatinya merupakan tanda-tanda sakinah
dan keberanian mempertaruhkan nyawa yang lebih gemilang . . . .
Maka Sewaktu orang Islam sedang berkumpul menyusun kekuatan
di salah satu lembah Tihamah sambil menanti-nanti kedatangan musuh, sebenarnya
orang-orang musyrik telah mendahului mereka ke lembah dan bersembunyi di parit-parit dan di tepi-tepi jalan bukit,
siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.
Ketika Kaum Muslimin sedang lengah itu mereka menyerbu dan melakukan sergapan
secara mendadak dan membingungkan, menyebabkan Kaum Muslimin sama melarikan diri sejauh-jauh­nya
hingga tak sempat menoleh ke kiri dan kanan,
Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan mendadak itu ter­hadap Kaum Muslimin.
Beliau naik ke atas punggung kuda begalnya yang putih, lalu berseru dengan suara keras:
“Hendak ke mana kalian . . . ?
Marilah kepadaku .. . aku adalah Nabi, tidak pernah bohong . . .
aku anak Abdul Mutthalib … !”
Di keliling Nabi waktu itu hanya tinggal Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib
bersama anaknya Fadlal bin Abbas, Ja’far bin Harits, Pabi’ah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid
dan beberapa shahabat lainnya yang tak banyak jumlahnya.
Ada lagi di sans seorang perempuan yang beroleh kedudukan tinggi di antara laki-laki dan para pahlawan ….
namanya Ummu Sulaim binti Milhan ….
Perempuan ini telah melihat kebingung­an Kaum Muslimin dan keadaan mereka yang kacau balau,
maka segera ia menunggangi unta suaminya Abu Thalhah r.a. dan terus menghentak unta itu ke arah Rasul ….
Sewaktu janin yang ada dalam perutnya bergerak,
— karena waktu itu ia sedang hamil
— dibukanya selendangnya lalu dibebatkannya ke perutnya dengan ikatan yang cukup kuat.
Sewaktu ia sampai ke dekat Nabi saw. dengan khanjar terhunus di tangan kanannya,
Rasul menyambutnya dengan tersenyum, katanya:
“Ummu Sulaim?
Jawabnya:
“Benar . . . demi bapakku dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah … !
Bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana
anda membunuh mereka yang memerangi anda; mereka patut mendapatkannya . . . !”
Maka semakin bercahayalah senyuman di muka Rasul
yang percaya sepenuhnya akan janji Tuhannya,
lalu katanya:
“Sesung­guhnya Allah telah cukup — jadi pelindung — dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim … !”
Sewaktu Rasulullah dalam kedudukan demikian,
Abbas berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya, menghadang maut dan bahaya...
Nabi memerintahkan untuk memanggil orang banyak,
karena Abbas mempunyai suara lantang,
maka berserulah ia:
— “Hai golongan Anshar . . . wahai pemegang bai’at . . . !”
Maka seolah-olah suaranya itu suara kadar dan jurubicaranya jua ….
Karena demi mereka yang ketakutan karena serangan mendadak ini dan yang kacau balau di dalam lembah itu,
mendengar suara panggilan tersebut, mereka menjawabnya serentak:
“Labbaika Lab­baika, kami segera datang, ini kami datang … !
Allah menurunkan sakinah dan mengembalikan keberanian dan semangat tempur Kaum Muslimin
dengan perantaraan suara Abbas dan sikap kepahlawanannya.
Mereka berbalik kembali laksana angin kencang, sampai­-sampai karena unta atau kudanya membandel,
mereka melompat turun lari maju, sambil membawa baju besi, pedang dan panahnya menuju arah suara Abbas . . .
Maka pertempuran berlangsung lagi dengan garang dan kejamnya.
Rasulullah berseru:
“Sekarang peperangan memuncak panas . . . !” Benar, perang menjadi panas . . . !
Dan berangsur-angsur korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan,
pasukan berkuda Allah telah mengalahkan angkatan berkuda lata,
dan Allah menurunkan sakinahnya kepada Rasul dan orang-orang Mu’min …
Rasulullah amat mencintai Abbas, sampai beliau tidak dapat tidur sewaktu berakhirnya perang Badar,
karena pamannya pada malam itu tidur bersama tawanan yang lain . . . .
Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya ini, sewaktu ditanyakan kepadanya, sebabnya. . .
beliau tidak dapat tidur padahal Allah telah memberikan pertolongan sebesar-besarnya,
beliau men­jawab: “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam beleng­gunya…
Salah seorang di antara Muslimin mendengar kata-kata Rasul tersebut,
lalu segera pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan belenggu Abbas.
Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah, katanya:
”Ya Rasulallah aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit!”
Tetapi kenapa hanya Abbas saja ?
Ketika itu Rasul memerintahkan kepada shahabatnya itu:
“Ayuh pergilah, laku­kanlah seperti itu terhadap semua tahanan … !”
Benar, kecintaan Nabi kepada pamannya tidak dimaksud­kannya untuk memperbedakannya
dari manusia lain yang mengalami keadaan yang sama!
Dan tatkala musyawarah menetapkan membebaskan tawanan dengan jalan menerima tebusan,
berkatalah Rasul kepada paman­nya:
“Wahai Abbas . . . , tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Abi Thalib,
Naufal bin Harits, dan teman karibmu
‘Utbah bin Amar saudara Bani Harits bin Fihir, sebab kamu banyak harta!”
Mulanya Abbas bermaksud hendak membebaskan dirinya tanpa membayar uang tebusan, katanya:
”Hai Rasulullah, sebenarnya aku’kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku . . . !”
Tetapi Rasul saw. terus mendesaknya agar membayarnya,
dan berkenaandengan peristiwa ini turunlah ayat al-Quranul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu:
Jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti,
la akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian,
dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang … !” (Q.S. 8 A-Anfal: 70)
Demikianlah Abbas menebus dirinya dan orang-orang ber­samanya dan pulang kembali ke Mekah …
dan setelah itu jalan fikiran dan keimanan Abbas tidak dapat disembunyikan lagi pada orang Quraisy.
Tak lama kemudian dikumpulkannya hartanya dan dibawanya barang-barangnya lalu terus menyusul Rasul ke Khaibar,
untuk ikut mengambil bagian dalam rombong­an angkatan Islam dan kafilah orang-orang beriman ….
Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh Kaum Muslimin,
terutama karena melihat Rasul sendiri memuliakan Serta mencintainya,
begitupun mendengar ucapan Rasul terhadapnya:
“Abbas adalah saudara kandung ayahku ….
Maka siapa yang menyakiti Abbas tak ubahnya menyakiti­ku!”
Abbas meninggalkan keturunannya yang diberkati;
Abdullah bin Abbas mutiara ummat dengan pengertian alim, ‘abid dan shaleh,
adalah salah seorang anak yang diberkati Nabi.
Pada hari Jum’at tanggal 14 bulan Rajab tahun 32 Hijrah.
penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengar pengumuman:
“Rahmat Allah bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Mutthalib!”
Mereka mendapati Abbas telah meninggal …..
Amat banyak sekali orang mengiringkan jenazahnya, belum pernah terjadi selama ini sebanyak itu.
Jenazahnya dishalatkan oleh khalifah Muslimin pada waktu itu, yakni Utsman bin Affan r.a.
Di bawah tanah Baqi’ beristirahatlah dengan tenang tubuh Abul Fadlal . . . .
la tidur nyenyak dengan hati puas,
di lingkungan orang baik­-baik yang telah sama-sama memenuhi janji mereka kepada Allah

AL -`ABBAAS IBN `ABD AL-MUTTALIB
The Provider of Water of the Two Harams The Masjid
Al-Haram in Makkah and the Masjid An-Nabawi in Al-Madiinah


In the Year of Drought, the Commander of the Faithful `Umar, along with a great number of
Muslims, went out into a vast open area to perform the prayer for rain and supplicate Allah the Most
Merciful to send down rain. `Umar (May Allah be pleased with him) held Al `Abbaas's right hand in his
right hand and raised it towards the sky and supplicated, "O Almighty Allah, we used to ask You for rain
for the Prophet's sake while he was alive. O Almighty Allah, today, we ask you for rain for the sake of
the Prophet's uncle. So please send down rain on us." The Muslim congregation did not leave until rain
poured announcing glad tidings, irrigation, and fertility.
The Companions rushed to embrace Al-'Abbaas and express their affection for his blessed status
saying, "Rejoice! You are now the provider of water of the two Harams."
What was the man who was called the provider of water of the two Harams really like? Who was
this man for whose sake `Umar beseeched Allah to send down rain, notwith- standing `Umar's piety,
precedence, and high station well-known to Allah, His Prophet and the believers? He was Al-'Abbaas,
the Prophet's (PBUH) uncle. The Prophet (PBUH) held him in great esteem. His reverence and love for
him were inseparable. He always praised his good nature saying, "He is the only one left of my family."
Al-'Abbaas Ibn Abd Al-Muttalib was the most generous man of the Quraish. Moreover, he was
good to his relatives and maintained the bond of kinship!
Al-Abbaas, just like Hamzah (May Allah be pleased with them both), was nearly the same age as
the Prophet, being only two or three years older. Thus, Muhammad and his uncle Al- Abbaas were of the
same age and generation as children and as young men. Being relatives was not the only bond that made
them close friends. They were tied by the bonds of age and life- time friendship.
In addition, Al-'Abbaas's good nature and excellent manners complemented the Prophet's standards
of judgment, for Al-'Abbaas was excessively generous, as if he was the sponsor of good and noble deeds
towards humanity. He treasured kinship bonds and cherished his family and relatives. He put himself, his
influence, and his money at their disposal.
Moreover, he was an extremely intelligent man. His intelligence was tinged with craftiness. This,
along with his high station among the Quraish, enabled him to avert mischief and abuse against the
Prophet (PBUH) when he began to invite people openly to embrace Islam.
As we have mentioned before, Hamzah treated the Quraish's oppression and injustice and Abu Jahl's
arrogance and hostility with his devastating sword. As for Al-'Abbaas, he treated them with a kind of
intelligence and craftiness that benefited Islam in the same way that swords did to protect and defend its
existence and victory. A group of historians mentioned Al-Abbaas among those who were last in
embracing Islam, for his Islam was not announced openly until the year of the Conquest of Makkah.
However, others narrated that he was foremost in submitting himself to Islam but that he hid his faith.
Abu Raafi'a, the Prophet's (PBUH) servant, said, "I was Al `Abbaas lbn `Abd Al-Muttalib's slave
when Islam dawned on the family of the house. Thus, Al-'Abbaas, Umm Al-Fadl and I submitted
ourselves to Islam, but Al-`Abaas hid his Islam." This is Abu Raafi'a's statement in which he witnessed
Al-' Abbaas's Islam before the Battle of Badr.
Consequently, Al-`Abbaas was a foremost Muslim. His staying in Makkah despite the Prophet's
(PBUH) Hijrah was a premeditated plan which bore fruit. The Quraish neither hid their suspicions of Al
Abbaas's real intentions, nor could they find a reason to show hostility to him, especially when he
showed nothing but adherence to their way of life and religion.
When the Battle of Badr took place, the Quraish found their golden opportunity to unveil Al-
`Abbaas's real allegiance. Al-`Abbaas was a shrewd man who detected, at once, the evil plots which the
Quraish resorted to to alleviate their anguish and loss.
If Al-`Abbaas was able to inform the Prophet (PBUH) in Al Madiinah of the Quraish's plans and
preparation! they would still succeed in leading him into a battle which he did not believe in and did not
want. However, it would be a temporary success which would soon turn into a devastating upheaval.
The two armies met in combat in the Battle of Badr. The Prophet (PBUH) called his Companions
saying, "There are men of Bani Haashim and of other clans of the tribe who were forced to march forth.
They do not really want to fight us. Therefore if any of you meet one of them during the battle, I order
you to spare his life. Do not kill Abu Al-Bakhtariy Ibn Hishaam Ibn Al-Haarith Ibn Assad. Do not kill
Al-' Abbaas Ibn `Abd Al-Multalib, for he was forced to go forth in this battle."
Now, the Prophet (PBUH) was not favoring his uncle Al-`Abbaas with a privilege, for it was neither
the occasion nor the time for privileges. Muhammad (PBUH) would not intercede on his uncle's behalf -
while the battle reached the apex of atrocity and while he saw his companions struck down in the battle
of truth - if he knew that his uncle was one of the disbelievers. Indeed, if the Prophet had been ordered
not to even ask for Allah's forgiveness for his uncle Abi Taalib, despite his endless support, help, and
sacrifice for Islam, then how could he order the Muslims who were killing their own disbelieving fathers
and brothers in the Battle of Badr to make an exception for his uncle and spare his life? It certainly does
not seem logical or feasible. The only logical explanation is that the Prophet knew his uncle's secret and
hidden allegiance and his secret services for Islam. He also knew that he was forced to go forth to the
battle. Therefore, it was his duty to save him as far as he was able to.
If Abu Al-Bakhtariy Ibn Al-Haarith won the Prophet's intercession although he did not hide his
Islam nor support it as Al-'Abbaas did, it was because he refused to take part in the Quraish's abuse and
oppression against the Muslims. Second, he went forth to battle out of embarrassment and compulsion.
Was not a Muslim who hid his Islam and supported it openly and secretly in many notable situations
more worthy of this intercession? Indeed, Al-'Abbaas was that Muslim and that helper. Let us go back in
time to prove this statement.
When 73 men and two women from a delegation of the Ansaar came to Makkah during the Hajj
season to take the oath of allegiance to the Prophet in the Second Pledge of Al-'Aqabah and to make
preparations with the Prophet for the imminent emigration of the Muslims to Al-Madiinah, the Prophet
(PBUH) informed his uncle Al `Abbaas concerning all that went on between him and the delegation and
about the pledge, for he trusted his uncle and treasured his opinion.
When it was time for the secret meeting, the Prophet (PBUH) and his uncle Al-'Abbaas went to
where the Ansaar were waiting for them. Al-`Abbaas wanted to test their loyalty and ability to help and
protect the Prophet.
Now, let us hear one of the delegation, Ka'b Ibn Maalik (May Allah be pleased with him) narrate the
proceedings of this meeting: We sat in the ravine waiting for the Prophet (PBUH) until he arrived
accompanied by his uncle. Al-'Abbaas Ibn Abd Al- Muttalib said, "O people of Khazraj, you are well
aware of Muhammad's lineage. We have prevented our people from abusing him. He lives here protected
and supported by his people and in his own country, yet he prefers to accompany you and emigrate to Al-
Madiinah. So, on the one hand, if you are certain that you will be capable of giving him sufficient help,
protection, and safety, then fulfill your pledge to the fullest. On the other hand, if you intend to forsake
and thwart him after he has emigrated to you, then you had better show him your true colors now before
it is too late."
As Al-`Abbaas uttered these decisive words, his eyes were surveying the Ansaar's faces in order to
trace and observe their reflexes and reaction to his words. Al-'Abbaas was not satisfied with what he saw,
for his great intelligence was a practical one that investigated tangible and solid facts and confronted
them from all their angles with the scrutiny of a calculating expert.
Hence, he posed an intelligent question: "Describe to me your combat readiness and war strategy."
Al-'Abbaas was astute enough and experienced with the nature and disposition of the Quraish to realize
that war between Islam and disbelief was inevitable, for on the one hand there was no way that the
Quraish would accept to forsake their religion, glory, and arrogance. On the other hand, Islam would not
yield its legitimate rights to the power of falsehood. The question was, Would the people of Al-
Madiinah stand firmly behind the Prophet (PBUH) at the outbreak of war?
Were they, technically speaking, on the same level of expertise in the tactics of war, attack, and
retreat as the Quraish were ? That was what Al-'Abbaas had in mind when he asked them to describe
their combat readiness and war strategy.
The Ansaar were firm as a mass of mountain as they listened to Al- `Abbaas. No sooner had he
finished asking this provocative question than the Ansaar spoke: "By Allah, we are given to warfare. We
are men of soldierly bearing. We were raised on the tactics of war and trained to fight. We inherited
excellent warfare expertise from our fathers and grandfathers. We have learned to keep on shooting
arrows until the last one. We have learned to stab with our spears until they break. We have learned to
carry our swords and strike hard until either we or our enemy is vanquished."
Al-'Abbaas was overjoyed as he said, "I can tell from what I have just heard that you are masters of
warfare, but do you have armor?" They answered, "Of course, we have armor, shields, and helmets."
Afterwards, a great and magnificent dialogue occurred between the Prophet (PBUH) and the Ansar,
which we will narrate in detail later on. That was Al-'Abbaas's attitude at The Second Pledge of Al-
'Aqabah. Whether he had already embraced Islam or had not yet taken his final decision does not change
the fact that his great attitude determined his forthcoming role in contributing to the eclipse of the power
of darkness and the imminent dawn of Islam.
Moreover, it sheds light on his outstanding stout- heartedness.
Finally, the Battle of Hunain took place, offering more evidence of the self-sacrifice of this quiet
and compassionate man whose impressive and immortal heroism would be projected on the battlefield
only under pressing necessity. Otherwise, this innate heroism would dwell in his innermost self,
yet it would always be lurking there.
In A.H. 8 and after Allah had enabled His Prophet and Islam to achieve the Conquest of Makkah,
some of the influential tribes in the Arab Peninsula were enraged by the quick victory that this new
religion had achieved in such a short time. Therefore, the Hawaazan, Thaqiif, Nasr, Jusham, and other
tribes held a meeting and agreed to wage a decisive war against the Prophet (PBUH) and the Muslims.
Now, we should not let the word "tribes" mislead us into underestimating the gravity of the wars that the
Prophet (PBUH) fought throughout his life. We must not think that they were small- scale skirmishes in
the mountains. On the contrary, these tribal wars, fought at the tribes' strongholds, were far more difficult
and atrocious than ordinary wars. If we bear this fact in mind we would not only have an accurate
evaluation of the incredible effort exerted by the Prophet (PBUH) and his Companions, but also a correct
and trustworthy one of the value of this great victory achieved by Islam and the believers, and an
illuminated insight into Allah's guidance that was conspicuous in their success and victory.
As we have said, the tribes gathered in endless waves of fierce warriors. There were 12,000 warriors
in the Muslim army. Twelve thousand? Who were these warriors ? They were those who, not a long time
before, had liberated Makkah, dragging the power of polytheism and idolatry to the last and bottomless
abyss, and had raised their flags across the horizon without rivalry or competition.

This was undoubtedly an unprecedented victory that made pride stealthily creep into the victorious
Muslims. In the final analysis, the Muslims were only human beings. Their large numbers and great
achievement in Makkah made them vulnerable to pride.
Consequently they said, "We shall not be overcome by a small group."
Their depending solely on their military power, solely and pride in their military conquest were
unrighteous sentiments that they would quickly recover from through a painful yet curing shock which
was awaiting them, for heaven was preparing them for a much more glorious and elevated end than war.
The curing shock was a sudden large-scale defeat shortly after the two armies met in fierce combat. The
Muslims at once supplicated Allah in humiliation and submission. They perceived that there was no
fleeing from Allah, no refuge but with Him, and there was no power but His.
These supplications flowed throughout the battlefield, turning defeat into victory.
Accordingly, the glorious Qur'aan descended addressing the Muslims: ... " on the Day of Hunain
when you rejoiced at your great number but it availed you naught and the earth, vast as it is, was
straitened for you, then you turned back in flight. Then Allah did send down His tranquility upon the
Messenger and on the believers, and sent down forces which you saw not, and punished the disbelievers.
Such is the recompense of disbelievers " (9: 25 –26)
On that day, Al-`Abbaas's voice and firmness were the most outstanding manifestation of this calmness
and tranquility and of self-sacrifice. For while the Muslims joined forces in one of the valleys waiting for
the arrival of their enemies, the polytheists were already hidden throughout the ravines with unsheathed
swords. They wanted to take the initiative. Suddenly, they flung themselves into the battlefield and
attacked the Muslims ruthlessly. This blitzkrieg shook the Muslims and made them turn their backs to the
battle and run away without even casting a glance at one another. When the Prophet (PBUH) saw the
chaos that this sudden attack brought to the Muslim lines, he at once mounted his white mule and cried
out at the top of his voice,
"Where are my people? Come back and fight!
I am truly the Prophet! I am the
son of `Abd Al-Muttalib!"
At that moment, the Prophet (PBUH) stood there surrounded by Abu Bakr, `Umar, `Aliy lbn Abi
Taalib, Al-' Abbaas lbn `Abd Al Muttalib, his son Al-Fadl Ibn Al-'Abbaas, Ja'far Ibn Al- Haarith,
Rabii'ah Ibn Al-Haarith, Usaamah Ibn Zaid, Aiman Ibn `Ubaid and a few other Companions.
There was also a woman who was raised to a high station among those men and heroes, namely,
Umm Suliim Bint Milhaan. When she saw the chaos and confusion that the Muslims had fallen into, she
mounted her husband Abi Talhah's camel (May Allah be pleased with them both) and hastened towards
the Prophet (PBUH). When her baby moved in her womb, she took off her outer garment and pulled it
tight around her belly. As soon as she reached the Prophet (PBUH), she gave him her dagger. The
Prophet (PBUH) smiled and asked, "Why do you give the dagger to me, Umm Suliim?" She answered,
"You are dearer to me than my own father and mother. Kill those who turned their backs on you as you
do your enemies, for they deserve the same punishment." The Prophet's face lit up, for he had strong
faith in Allah's promise, and he said, "Allah sufficed us against them and has been good to us."
In those difficult moments, Al-' Abbaas was next to the Prophet (PBUH). In fact, he followed him
like his shadow, holding the halter tightly and defying danger and death. The Prophet (PBUH) ordered
him to cry out at the top of his voice, for he was a stout and loud voiced man, saying, `Come back and
fight, O Ansaar people! Come back, for you took the oath of allegiance to Allah and His Prophet." His
voice sounded throughout the battlefield as if it was both the caller and warner of destiny. As soon as
those terrified and dispersed Muslims heard his voice, answered in one breath,
"Here I am at your service. Here I am at your service." They flung themselves into the battlefield like
a hurricane. They dismounted the horses and camels which would not move and ran with their shields,
swords, and bows as if they were pulled by Al-`Abbaas's voice. Once again, the two armies met in fierce
combat. The Prophet (PBUH) cried out, "Now it is time for fierce fighting." It was really a ferocious
fight. The bodies of Hawaazan and Thaqiif rolled down the battlefield. Allah's warriors defeated the
warriors who worshiped the idol of Al-Laat.
Allah had sent down His calmness and tranquility on the Prophet and the believers.
The Prophet (PBUH) loved his uncle Al-`Abbaas dearly, to the extent that he could not sleep when the
Battle of Badr lay down its burden and his uncle was captured. The Prophet (PBUH) did not try to hide
his feelings. When he was asked about the reason for his sleeplessness, despite his sweeping victory, he
said, "I heard Al `Abbaas moan in his fetters." As soon as a group of Muslims heard the Prophet's words,
they rushed to where the captives were, untied Al-`Abbaas, and returned to the Prophet and said, "O
Prophet, we loosened Al-'Abbaas's fetters a little." But why should Al-`Abbaas alone enjoy this
privilege? Consequently, the Prophet ordered them, "Go and do that to all the prisoners."
Indeed, the Prophet's love for Al-'Abbaas did not mean that he should receive special treatment that
distinguished him from other captives. When it was decided that a ransom would be taken in exchange
for the captives' freedom, the Prophet (PBUH) asked his uncle, "O Abbaas, pay the ransom for yourself
and your nephew Aqiil Ibn Abi Taalib, Nawfal lbn Al-Haarith and your ally, `Utbah lbn `Amr and the
brothers of Bani Al-Haarith Ibn Fahr, for you can afford it." Al-`Abbaas wanted to be set free without
paying a ransom, saying, "O Mesenger of Allah, I was a Muslim but my people forced me to go forth in
this battle." But the Prophet (PBUH) insisted on it. The glorious Qur'aan descended to comment on this
incident saying! " O Prophet! Say to the captives that are in your hands: If Allah knows any good in your
hearts, He will give something better than what has been taken from you, and He will forgive you, and
Allah is oft forgiving! Most Merciful" (8:70).
Hence Al-'Abbaas paid the ransom for himself and his friends and returned to Makkah. From that
point onwards the Quraish lost their influence over him and their benefit from his insight and guidance.
Therefore, Al-`Abbaas took his money and luggage and joined the Prophet in Khaibar so as to have a
place in the ranks of islam and the believers. The Muslims loved, revered, and honored him, especially
when they realized how much the Prophet (PBUH) loved and honored him when he said,
"Al-`Abbaas was like a twin brother to my father.
Consequently! if anyone annoyed Al-'Abbaas, it would be as though he personally annoyed me."
Al-`Abbaas had blessed offspring.
`Abd Allah lbn Abbaas, the learned of the Muslim nation, was one of those blessed sons
On Friday, the 14th of Rajab, A.H. 32,
the people of Al Awaalii in Al-Madiinah heard a crier calling out,
"May Allah have mercy on whoever saw Al-'Abbaas Ibn Abd Al-Muttalib."
They realized at once that Al-'Abbaas had died.
An unprecedented large congregation of people! such as Al-Madiinah had not experienced before,
accompanied the funeral procession to the graveyard.
The Commander of the Faithful `Uthmaan (May Allah be pleased with him)
performed the funeral prayer. The body of Abu Al-Fadl was laid in Al-Baqii'.
He sleeps comforted and delighted among the faithful who have been true to their covenant with Allah.