Friday, June 10, 2011







CAHAYA YANG MEREKA PEDOMANI

Mahaguru macam manakah beliau . . .?
Manusia corak apakah . . .?
Beliau yang tak ubah sebagai telaga atau lubuk yang dalam . . . , yang penuh dengan
kebesaran, kejujuran dan ketinggian . . .! Sungguh, orang-orang yang terpesona melihat
kebesarannya itu taklah dapat disalahkan, sementara orang-orang yang sedia menebus
dirinya dengan nyawa mereka, merekalah yang beroleh keberuntungan . . .! Muhammad
saw. putera Abdullah . . . , utusan Allah kepada ummat manusia, dalam arena kehidupan
yang panas membara . ..!
Rahasia dan syarat-syarat apakah yang dimilikinya secara sempurna, hingga ia berhasil
menjadi seorang manusia yang mengatasi seluruh manusia? Dan tangan keramat macam
apakah yang ditadahkannya ke langit, hingga seluruh pintu rahmat, pintu ni'mat dan
petunjuk terbuka baginya selebar-lebarnya . . .?
Keteguhan iman kekuatan dan kemauan macam apakah . . .? Kejujuran, ketulusan dan
kesucian corak manakah . . .? Kerendahan hati, kecintaan dan kesetiaan seperti apakah . . .?
Lalu menjunjung tinggi kebenaran . . .!
Dan kemudian penghargaan terhadap hidup dan segala makhluq yang hidup!
Sungguh, Allah telah melimpahkan padanya karunia sebanyak-banyaknya,
menyebabkannya mampu memikul panji-panji-Nya dan membicarakan asma-Nya, bahkan
menjadikannya sanggup sebagai penutup dari semua Rasul-Nya . . .! Itulah sebabnya
karunia Allah kepadanya tidak terkira besarnya. Dan betapa juga asyiknya akal fikiran,
ilham maupun tulisan membicarakannya dan menggubah lagu-lagu kebesarannya, tapi
seolah-olah semua itu tidak akan mampu mencapai tempatnya, dan tidak pernah mampu
bibir menuturkannya . . . .
Dan andainya lembaran-lembaran pertama dari buku ini menyajikan pembicaraan
mengenai Rasulullah saw. sebagai pembuka kata, maka tidaklah maksudnya ingin hendak
menguraikannya dengan sepertinya, atau mengemukakan tokoh Rasulullah itu kepada
pembaca dengan selengkapnya. Itu tidak lebih dari ujung-ujung jari yang dengan segala
kerendahan hati menunjukkan keunggulan dan kebesarannya yang telah memikat hati
manusia dan merebut cinta kasih yang tiada taranya dari orang-orang Muhajirin dan
Anshar, yang sebagian mereka kita paparkan riwayatnya dalam buku ini. Belum lagi
kehidupan terhirup akan harum wanginya, maka ia telah menjadikan angin dan bayu
sebagai pertanda gembira bagi kedatangannya, sebagai utusan ke setiap pelosok bumi dan
daerah-daerah kediaman insani, membawa prinsip-prinsip da'wah dan pembekalan da'i,
kebesaran sang guru dan kebenaran ajarannya, cahaya risalat dan rahmat Rasul-Nya ....
Memang, hanya itulah maksud tujuan, tidak lebih dan tidak kurang! Yaitu, agar kita
dapat melihat dalam cahaya terang dari sinar cemerlangnya yang benderang, sebagian bukti
kebesarannya yang luar biasa, yang telah memikat cinta kasih orang beriman, dan
menyebabkan mereka memandangnya sebagai ikutan dan pedoman, sebagai guru dan
teladan . . .!
Alasan-alasan apakah yang telah menyebabkan pemimpin-pemimpin bangsanya
berlomba-lomba untuk menerima ajaran dan Agamanya: Abu Bakar, Thalhah, Zubair,
Utsman bin 'Affan, Abdurrahman bin 'Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash dan lain-lain, yang
dengan tindakan mereka beriman itu berarti mereka rela melepaskan kemuliaan dan
kemegahan yang melingkungi mereka selama ini. Dan pada waktu yang bersamaan sedia
menghadapi kehidupan yang bergejolak, penuh dengan kesulitan, perjuangan dan beban
penderitaan?

Apa kira-kira yang telah menyebabkan golongan jelata di antara kaumnya berlindung
diri kepadanya, dan segera bernaung di bawah panji-panji dan bendera da'wahnya? Padahal
mereka mengetahui bahwa ia tidak mempunyai harta maupun senjata, serta tidak sunyi dari
marabahaya dan dikejar-kejar bencana yang mengincarnya dengan amat kejamnya, tanpa
kawan pembela yang akan melindunginya . . .?
Apakah yang mendorong adikara Jahiliyah Umar bin Khatthab yang sedang
mencarinya dengan maksud hendak memenggal kepalanya, tiba-tiba berbalik haluan lalu
pergi mencari musuh-musuh dan para penentangnya, untuk menebas kepala mereka dengan
pedang itu juga, yang kini kian bertambah tajam disebabkan keimanannya . . .?
Apakah yang menyebabkan orang-orang pilihan dan terkemuka Madinah pergi
menemuinya untuk bai'at dan berjanji akan sama-sama mendaki bukit yang tinggi dan
menuruni lurah yang dalam, padahal mereka menyadari bahwa peperangan yang akan
terjadi di antara mereka dengan orang-orang Quraisy akan berkecamuk dengan amat
dahsyatnya . . .?
Apakah yang menyebabkan jumlah orang-orang beriman kian bertambah dan tak
pernah berkurang, padahal setiap pagi dan petang ia selalu meneriakkan pada mereka: "Aku
tidak mempunyai wewenang untuk memberimu manfa'at atau mudlarat, dan aku tidak
mengetahui apa yang akan terjadi atas diriku begitu juga atas dirimu sekalian!"
Apakah pula yang menyebabkan mereka percaya bahwa pelosok dunia akan
dibebaskan dari kekufuran dan keni'matan dunia dipersembahkan untuk mereka, dan bahwa
telapak kaki mereka akan bergelimang dengan kekayaan dunia melintasi berbagai mahkota
kerajaan. Apakah pula yang menyebabkan mereka percaya bahwa al-Quran yang ketika itu
mereka baca secara sembunyi-sembunyi, akan didengungkan ke segenap penjuru dengan
nada keras dan alunan tinggi, bukan di lingkungan kaum mereka saja atau di jazirah Arab
semata, tetapi meluas ke seluruh kolong langit dan menembus kurun waktu . . .?
Maka apakah kiranya yang menyebabkan mereka yakin akan kebenaran ramalan yang
dinubuwatkan Rasul mereka, pada hal di kala mereka berpaling kiri dan kanan dan melihat
muka belakang, tak ada yang mereka temui kecuali tanah gersang dan pasir membara,
bahkan batu-batu panas bak lambaian neraka, dan pohon-pohon kering yang pucuknya tak
ubah kepala setan yang sedang dirajam siksa . . .? Dan apa gerangan yang telah
menyebabkan kalbu mereka dipenuhi keyakinan dan kepekatan iman ini. . .?
Tiada lain hanyalah putera Abdullah itu!
Dan siapa pula yang dapat mencapai semua keutamaan itu kecuali dirinya sendiri.
Sungguh, telah mereka saksikan keutamaan dan keistimewaannya. Telah mereka lihat
kesucian, kesederhanaan, kejujuran, keberanian dan keteguhan pendiriannya. Mereka lihat
ketinggian dan rasa santunnya, akal budi dan buah fikirannya. Mereka lihat matahari
bersinar, memancarkan kebenaran dan kebesarannya. Mereka dengar air kehidupan mulai
mengalir ke pembuluh hayat, demi Muhammad saw. itu menyiraminya dengan wahyu yang
diterimanya pada hari-hari itu dan dengan renungan-renungannya di masa lalu . . .!
Mereka saksikan semua itu, bahkan berlipat ganda dari itu, bukan dengan
mendengarnya dari mulut ke mulut, tetapi secara berhadap-hadapan muka dan melihatnya
dengan mata kepala, baik mata lahir, maupun mata bathin mereka . . .!
Dan demi orang-orang Arab tadi menyaksikan peristiwa-peristiwa yang kita sebutkan
itu serta selesai melakukan penyelidikan mereka, maka tak perlulah lagi diceritakan hal-hal
selanjutnya . . .!
Mereka adalah ahli selidik dan siasat. Salah seorang di antara mereka melihat jejak
kaki di tengah jalan, maka ia akan dapat mengatakan kepada anda: "Ini adalah jejak telapak
kaki si Anu putera si Anu". Atau demi tercium olehnya ban nafas orang yang menjadi
lawan bicaranya, maka ia akan mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada orang itu,
apakah kebenaran ataukah dusta . . . .

Mereka telah melihat Muhammad saw. dan hidup semasa dengannya semenjak ia lahir
ke alam dunia. Tidak satu pun yang tersembunyi bagi mereka mengenai perihidupnya.
Bahkan masa kecilnya, yakni suatu masa yang tidak begitu menjadi perhatian kecuali bagi
keluarga dan orang tua dari anak itu sendiri. Terhadap Muhammad saw., masa kecilnya itu
disaksikan dan telah menjadi perhatian bagi seluruh penduduk Mekah.
Sebabnya ialah karena masa kanak-kanaknya tidaklah seperti masa kanak-kanak anak
lain. Perhatian orang tertoleh kepadanya melihat kedewasaannya yang cepat dan amat pagi,
begitu pun peralihannya yang segera dari kegemaran bermain sebagai anak-anak kepada
sikap bersungguh-sungguh dari orang dewasa.
Sebagai contoh misalnya orang-orang Quraisy sering memperkatakan cucu Abdul
Mutthalib ini yang tidak menyukai permainan anak-anak serta obrolan mereka di malam
hari. Setiap ada orang yang mengajaknya ikut serta, maka jawabnya: "Tidaklah untuk itu
aku dicipta!"
Juga sering menjadi pembicaraan mereka berita yang disiar-kan oleh ibu susunya
Halimah ketika ia mengantarkannya kem-bali kepada keluarganya. Hasil penglihatan dan
pengalamannya mengenai anak susunya selama ini, menyebabkannya yakin bahwa itu
bukanlah anak biasa, dan bahwa hal itu merupakan suatu rahasia terpendam yang hanya
diketahui oleh Maha Pencipta, tetapi suatu waktu kelak pasti akan terbuka oleh peredaran
masa . . . .
Mengenai masa remajanya . . . , aduhai alangkah bersih dan inya, bahkan lebih terang
dan lebih terbuka lagi, dan perhatian kaumnya lebih tertumpah serta perbincangan lebih
meluas! Jangan dikata tentang masa dewasanya, yang menjadi tumpuan pengamatan, pusat
pendengaran dan penglihatan.
Di samping itu ia menjadi hati nurani masyarakat dan bangsanya, hingga segala gerak-
gerik dan tindak-tanduknya menjadi ukuran bagi penilaian mereka terhadap barang haq, apa
yang baik dan yang terpuji . . . .
Bila demikian halnya, maka ia merupakan suatu kehidupan yang gamblang dapat
bicara. Semenjak dari awal hingga akhirnya, dari buaian ke liang lahad! Segala pandangan,
segala langkah dan ucapan, sekalian gerak-gerik bahkan sekalian impian, cita-cita dan
angan-angan hatinya, semenjak hari pertama ia lahir ke dunia, semua itu pantas untuk
menjadi milik ummat manusia. Seolah-olah dengan itu Allah Ta'ala hendak mema'lumkan
kepada ummat manusia: "Inilah utusan-Ku kepada kamu semua, sarananya ialah akal dan
logika, dan inilah dari masa bayinya perihidupnya terbuka. Maka periksalah dengan segala
akal budi dan pertimbangan logika yang ada padamu, dan bawalah ke batu ujian . . .!"
Nah, adakah kiranya hal-hal yang meragukan? Terdapatkah kepalsuan? Pernahkah ia
berbohong agak sekali, pernahkah ia berkhianat? Pernahkah namanya ternoda? Pernahkah
ia membuka 'auratnya? Adakah seseorang yang dianiayanya, atau adakah janji yang
dilanggarnya? Adakah silaturrahmi yang diputuskannya, tanggung jawab yang dilemparkan
dari pundak-nya atau perikemanusiaan yang diabaikannya? Pernahkah ia menghina orang
dan pernahkah ia menghadapkan mukanya menyembah berhala? Periksalah dengan cermat,
selidiki dengan teliti! Tidak satu tahap pun dari kehidupannya yang diselubungi kabut
tertutup tirai besi!
Maka seandainya kehidupannya sebagai anda lihat dan saksikan demikian bersih,
demikian benar dan luhur, apakah dapat diterima oleh akal dan fikiran yang sehat, apabila
laki-laki yang seperti itu corak kehidupannya akan berubah menjadi seorang pembohong
setelah mencapai 40 tahun usia . . .?
Kemudian, terhadap siapa ia berbohong . . .? Apakah terhadap Allah swt., hingga
diakuinya bahwa ia utusan-Nya, yang dipilih serta diangkat-Nya, dan menerima wahyu
daripada-Nya . . . ?
Tidak...!

Demikian menurut kesaksian dan kenyataan. Dan demikian pula pendapat akal dan
fikiran! Maka metoda mana yang anda gunakan dalam berfikir . . .? Dan haq mana yang
anda pakai untuk menyangkal. . .?
Menurut perkiraan kita, inilah dia daya pikat yang menarik orang-orang beriman
angkatan pertama kepada Rasulullah saw., baik golongan Muhajirin yaitu yang ikut hijrah
di antara mereka, maupun golongan Anshar, yakni yang menyambut saudara-saudaranya
jadi pembela.
Daya tarik itu demikian kuat dan menentukan, tak dapat bertangguh dan tak ada
kebimbangan. Karena manusia yang memiliki kehidupan yang suci dan menerangi ini, tak
mungkin akan berbohong kepada Allah! Maka dengan pandangan tajam dan menembus ini,
orang-orang beriman melihat nur atau cahaya Ilahi, hingga mereka ikuti dan pedomani. . .!
Mereka akan bersyukur atas pandangan itu, ketika di belakang nanti mereka lihat
bahwa Rasulullah ditolong oleh Allah swt., dan seluruh jazirah Arab tunduk taat di bawah
telapak kakinya, serta pintu rizqi terbuka lebar bagi mereka, suatu hal yang tidak mereka
duga dari semula.
Kiranya dirinya sekarang tidak berbeda dengan dirinya dulu, tiada bertambah kecuali
sifat zuhud dan keshalihannya, hidup sederhana dan bersahaja, tiada terpikat oleh dunia,
hingga di saat kembali menemui Allah, mereka dapati ia tidur di atas anyaman daun kurma,
hingga pelepahnya yang keras itu berbekas di sekujur tubuhnya . . .!
Juga mereka bersyukur ketika menyaksikan bahwa Rasul yang benderanya berkibar di
seluruh pelosok dengan megah dan jayanya, suatu waktu naik ke atas mimbar dan sambil
menangis menghadapkan wajahnya kepada manusia, katanya:
Barangsiapa yang pernah terpukul punggungnya, maka inilah punggungku
balaslah . . .! Barangsiapa yang pernah kuambil hartanya, maka inilah hartaku,
ambillah . . .!
Mereka menyaksikan peristiwa ketika pamannya (Abbas) meminta agar diberi suatu
jabatan yang juga dapat dipegang oleh orang-orang Islam kebanyakan, maka dengan lemah
lembut ditolaknya, sambil katanya:
Demi Allah wahai paman, kita tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang
yang meminta dan mengharapkannya . . .!
Ketika mereka melihatnya, tidak hanya turut merasakan penderitaan yang dirasai oleh
manusia semata, tetapi juga menggariskan prinsip bagi diri dan keluarganya yang sekali-
kali tak boleh mereka langgar atau menyimpang daripadanya, yaitu: Hendaklah mereka
orang yang pertama kali lapar bila masa kelaparan tiba, dan orang yang terakhir sekali
kenyang bila kebetulan dalam masa ma'mur dan jaya . . .!
Memang, orang-orang beriman angkatan pertama itu akan bersyukur atas pengamatan
mereka yang tepat di kala melihat sesuatu persoalan, yakni setelah mereka lebih dulu
memanjatkan puji dan syukur ke hadlirat Allah yang telah menunjuki mereka kepada
keimanan.
Dan mereka akan menyaksikan pula bahwa perikehidupan yang menjadi bukti
kebenaran pemiliknya, ketika ia menyatakan kepada mereka "Sesungguhnya aku ini
menjadi utusan Allah kepadamu", sungguh agung dan luhur, hingga dengan keagungan dan
keluhurannya itu menjadi bukti terkuat pula atas kebenaran mahaguru dan Rasul utama itu.
Dan tingkat keagungan dan ketinggiannya itu tak pernah turun agak sesaat atau luntur agak
sekejap, hanya tetap bertahan dari waktu kecilnya sampai ia wafat.
Dan sepanjang jalan kehidupan ini dan setelah ia sampai ke puncaknya, ternyata
dengan gamblang seperti cahaya siang, bahwa pemilik kehidupan dan risalah ini, sekali-kali


tidak berusaha untuk merebut nama, kedudukan atau harta. Ketika semua ini datang
kepadanya terikat pada tiang-tiang benderanya yang jaya, ditolaknya mentah-mentah, dan
seperti biasa sampai ke saatnya yang akhir, ia hidup sebagai orang yang shalih dan tekun
beribadat.
Seujung rambut pun dirinya tak hendak bergeser dari tujuan hidupnya yang mulia. Dan
tak pernah ia melanggar ikrarnya kepada Allah, baik dalam beribadat maupun dalam
berjihad. Belum lagi datang sepertiga yang akhir dari malam, ia telah bangkit berdiri, lalu
wudlu dan sebagai kebiasaannya yang sudah-sudah dan tak pernah berubah, ia munajat
kepada Allah lalu menangis, kemudian shalat sambil menangis ....
Harta datang kepadanya bertumpuk-tumpuk, tapi sedikit pun ia tak berubah, dan
tiadalah yang diambilnya untuk dirinya kecuali seperti yang diambil oleh orang yang paling
bawah dan rakyat yang paling melarat . . . , kemudian ketika ia wafat, didapati orang baju
besinya telah tergadai pula . . .!
Ketika akhirnya seluruh negeri tunduk menerima da'wahnya, dan sebagian besar raja-
raja buana berdiri dengan hormat dan ta'dhim sewaktu menerima surat-suratnya yang
mengajak mereka masuk Islam, maka tiada secuil pun kesombongan dan kemegahan berani
mendekat kepada dirinya, walau dari jarak yang jauh daripadanya. Dan tatkala dilihatnya
beberapa orang yang berkunjung kepadanya merasa gugup dan takut, maka dikuatkannya
semangat mereka, katanya: "Jangan malu-malu dan jangan takut! Ibuku adalah seorang
perempuan yang biasa makan dendeng di Mekah!"
Semua yang menolak Agamanya telah meletakkan senjata, dan mereka sama
menyerahkan leher untuk menerima dengan rela putusan yang akan dijatuhkannya,
sementara sepuluh ribu bilah pedang di tangan Kaum Muslimin beracungan dan berkilat-
kilatan di bukit-bukit sekeliling Mekah, tetapi ucapan yang dikeluarkannya kepada mereka
hanyalah:
Pergilah kalian! semua kalian bebas.
Bahkan sampai-sampai kepada menyaksikan kemenangan yang menjadi haknya dan
untuk itu ia telah menghabiskan usianya, tidak digunakannya dengan sepertinya. Dalam
perarakan di hari pembebasan itu, ia berjalan dengan menundukkan kepala, hingga sulit
bagi orang-orang untuk melihat wajahnya, sambil berulang-ulang membaca dengan mulut
dan dalam hatinya ucapan syukur yang bercampur dengan tetesan air mata, dan dengan
rendah diri menadahkannya kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar hingga
akhirnya sampailah ia di Ka'bah . . . , lalu berhadapan dengan kumpulan berhala. Maka
dirubuhkannya berhala-berhala itu dengan tembilang-tembilangnya sambil mengucapkan:
Telah datang yang haq dan telah rubuh yang bathil! Sesungguhnya barang bathil
itu pasti rubuh . . .!
Nah, masih adakah lagi keraguan terhadap risalahnya . . .? Suatu pribadi yang telah
membaktikan seluruh kehidupannya untuk da'wah, tanpa maksud-maksud tertentu atau ada
udang di balik batu, baik berupa kekayaan atau kemegahan, pengaruh atau kedudukan,
bahkan keabadian dirinya dalam sejarah pun tidak masuk perhitungannya, karena yang
diimaninya hanyalah keabadian di sisi Allah swt.
Suatu pribadi yang menjalani kehidupan dari masa kecilnya hingga usia 40 tahun
dalam kesucian dan renungan . . . , kemudian dari 40 tahun sampai akhir kesudahan diisinya
dengan beribadat dan membimbing ummat, dengan berjuang dan berperang, hingga pintu-
pintu gerbang dunia terbuka lebar untuknya, maka disingkirkannya segala kemuliaan dan
kemegahan palsu, dan ia tetap menekuni akhlaq, ibadat dan tugas risalat!

Masihkah ada kesempatan untuk menuduhnya sebagai pendusta . . .? Di manakah
kiranya letak kedustaannya itu? Hdakkah pribadi itu suci daripadanya? Dan tidakkah Rasul
itu bebas dan terhindar daripadanya?
******
Dulu kita kemukakan bahwa logika dan akal fikiran — sekarang juga demikian —
menjadi bukti utama atas kebenaran Nabi Muhammad Rasulullah, ketika ia berkata
"Sesungguhnya aku ini Rasulullah!" Tidaklah dapat diterima oleh logika dan akal yang
sehat bahwa orang yang seperti itu kehidupannya dari awal hingga akhir, akan berbohong
terhadap Allah!
Maka orang-orang Mu'min angkatan pertama yang segera menerima seruannya dan
kita beroleh kehormatan mengenal sekelumit dari riwayat mereka pada lembaran-lembaran
buku ini, setelah hidayat dan taufiq dari Allah Ta'ala, juga didorong oleh bukti logika dan
akal fikiran ini!
Begitu keadaan Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi Rasul! Begitu pula ia
setelah diangkat! Demikian ketika ia dalam ayunan! Dan demikian pula ketika berada di
ambang kematian! Apakah sepanjang hayat dan selama hidupnya itu ada sesuatu yang
meragukan? Bahkan walau agak sedikit pun?
Sekarang marilah kita berdiri sejenak dekat tahun-tahun pertama dari kerasulannya!
Tahun-tahun yang jarang kita jumpai bandingannya dalam sejarah mengenai keteguhan,
kejujuran dan kebesaran . . .! Tahun-tahun itu lebih mengungkapkan dari tahun-tahun
lainnya tentang Mahaguru dan Pembimbing kemanusiaan ini. Tahun-tahun yang merupakan
suatu prakata dari sebuah buku yang hidup, yaitu buku kehidupan dan kepahlawan-annya,
bahkan sebelum dan sesudah yang lain, merupakan pengantar bagi mu'jizat-mu'jizatnya . . .!
Selama tahun-tahun tersebut, di kala Rasulullah berada sebatang kara seorang diri,
ditinggalkannya segala suasana santai, tenteram dan damai, lalu tampil ke hadapan manusia
mengemukakan apa yang tidak mereka sukai, atau lebih tepat barang yang mereka benci! la
tampil di hadapan mereka dengan menujukan ucapannya kepada otak dan fikiran mereka . .
. . Dan alangkah sulitnya pekerjaan berdialog dengan fikiran massa dan bukan dengan
perasaan mereka!
Dan Muhammad Rasulullah tidak hanya berbuat itu saja. Mungkin berdialog dengan
fikiran manusia itu tidak begitu berat akibatnya, asal saja masih dalam batas lingkungan
adat dan cita-cita yang dimiliki bersama. Tetapi bila anda berbicara dengan mereka
mengenai masa yang jauh berada di depan, masa yang dapat anda lihat tapi mereka tidak
melihatnya, yang dapat anda rasakan tapi mereka tidak merasakannya, maka sungguh . . . ,
di kala anda berbicara dengan fikiran mereka dan bermaksud hendak merubuhkan sendi-
sendi dasar kehidupan mereka secara ikhlas dan jujur, tanpa mengharapkan keuntungan-
keuntungan tertentu seperti kedudukan dan pengaruh, maka, di sini anda menghadapi risiko
dan bahaya yang tak dapat teratasi, kecuali oleh ulul 'azmi, tokoh-tokoh berkemauan baja di
antara Rasul-rasul dan para pahlawan . . .!
Maka sungguh, Rasulullah adalah pahlawan dari arena ini dan Mahaguru luar biasa!
Waktu itu yang dikatakan ibadat adalah pemujaan berhala, sedang agama ialah upacara-
upacaranya. Dan Rasulullah tidaklah memakai cara perdebatan bagaimana juga bentuknya.
Sulitnya jalan dan beratnya beban akan dapat teratasi seandainya ia menggunakan
keccrdasan yang luar biasa untuk mempersiapkan jiwa manusia sebelum disodori kalimah
tauhid secara tiba-tiba. Menjadi haknya dan termasuk dalam kemampuannya meratakan
jalan lebih dulu untuk memisahkan masyarakat dari Tuhan-tuhan mereka, yang telah
mereka warisi pemujaannya selama ratusan tahun. Maka seyogyanya dimulai dengan
gerakan tolak angsur, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari pertentangan secara
terbuka yang diketahuinya sejak semula akan membangkitkan kebencian kaumnya
kepadanya dan mempertajam senjata mereka terhadap dirinya . . . .

Tetapi hal itu tidak dilakukannya . . . , suatu bukti bahwa ia adalah Rasul! Didengarnya
dalam kalbunya suara langit berkata padanya: "Bangkitlah" maka ia pun bangkit, dan
"Sampaikanlah!" maka disampaikannya . . . , tanpa bermanis mulut atau mengundurkan diri
. . .!
Dari saat pertama, dihadapinya mereka dengan inti risalat dan pokok persoalan:
Hai manusia! Aku ini utusan Allah kepadamu, dengan maksud agar kamu
mengabdikan diri kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan apa pun juga!
Sesungguhnya berhala-berhala itu kosong dan percuma, tidak dapat memberi
mudlarat maupun manfa'at!
Dan dari awal mulanya, dihadapinya mereka dengan kata-kata tegas dan gamblang ini,
dan dari mulanya pula dihadapinya peperangan sengit yang telah ditaqdirkan akan
diterjuninya sampai ia berpisah dengan dunia . . .!
Apakah orang-orang Mu'min angkatan pertama memerlukan dorongan yang akan
mendesak mereka untuk bai'at kepada Rasul ini? Tetapi hati nurani siapakah yang tidak
akan tergerak ketika menyaksikan peristiwa luar biasa dan satu-satunya ini . . .? Peristiwa
seorang laki-laki yang tidak dikenal manusia kecuali sebagai seorang yang sempurna akal
dan luhur budi, berdiri seorang diri menghadapi kaumnya dengan da'wah, yang karena
pengaruhnya yang dahsyat, gunung-gunung belah berserpihan, sementara kalimat-kalimat
yang keluar dari mulut dan lubuk hatinya demikian lantang dan mengharukan, seolah-olah
di sana berhimpun seluruh kekuatan masa depan, seluruh kehendak dan kemauan bajanya,
seakan-akan ia suara taqdir yang mema'lumkan keputusannya . . .!
Tetapi mungkin ini hanya merupakan cahaya kilat yang sekejap saat, dan setelah itu
Nabi Muhammad akan pergi mengurus dirinya sendiri, mengabdikan diri kepada Allah
sesuka hatinya, dan meninggalkan berhala-berhala kaumnya di temp at bercokolnya, serta
membiarkan agama mereka sebagai sedia kala . . . .
Seandainya kekhawatiran ini terbayang-bayang dalam otak sebagian orang di kala itu,
maka Muhammad saw. segera melenyapkannya. Secara gamblang ditegaskannya kepada
manusia bahwa ia adalah utusan yang berkewajiban menyampaikan, dan tak dapat diam
berpangku tangan atau menyembunyikan cahaya dan kebenaran yang telah diperolehnya.
Bahkan seluruh kekuatan dunia dan alam ini takkan mampu untuk membungkam dan
menghalanginya, karena yang menyuruh dan menggerakkannya berkata serta membimbing
langkahnya, tiada lain dari Allah Ta'ala . . .!
Dan jawaban dari orang-orang Quraisy datang secara tepat, tak ubah bagai lambaian
api tertiup angin kencang! Mulailah tekanan dan penderitaan mengalir menimpa dirinya,
yang dari bermula sampai akhirnya hanya layak beroleh penghormatan tertinggi, tak ada
lagi yang lebih tinggi dari itu . . .!
Dan laki-laki yang Rasulullah itu mengajarkan pelajaran pertamanya dengan
kemampuan seni mendidik yang istimewa dan semangat berqurban yang luar biasa. Dan
gambaran peristiwa itu memenuhi ruang dan waktu, meliputi halaman sejarah. Sementara
orang-orang yang bersemangat dan hidup jiwanya di Mekah sama terpesona dan kagum
lalu datang mendekat . . . . Kiranya mereka dapati seorang yang luhur dan tinggi; dan
mereka tidak tahu, apakah kepalanya bertambah panjang hingga menjulang dan menyentuh
iangit, ataukah langit yang turun ke bawah lalu meletakkan mahkota di atas kepalanya . . .!
Mereka lihat usaha mati-matian, keluhuran dan kebesaran . . . . Dan yang paling
menyegarkan dari yang mereka lihat dan saksikan itu ialah suatu hari, ketika bangsawan-
bangsawan Quraisy pergi mendapatkan Abu Thalib dan berkata: "Wahai Abu Thalib! Anda
adalah seorang yang kami tuakan, kami hormati dan muliakan. Dan kami telah meminta

anda agar melarang keponakan anda itu, tetapi rupanya tidak anda indahkan! Sungguh,
demi Allah, kami telah tak dapat menahan kesabaran kami lagi mendengar cemoohan
terhadap nenek moyang kami, ejekan terhadap orang-orang cerdik pandai kami, peng-
hinaan terhadap Tuhan-tuhan pujaan kami! Bila anda masih belum hendak mencegah
perbuatannya itu, marilah kita berperang tanding, biar salah satu di antara kita tewas atau
celaka . . .!"
Abu Thalib pun segera menyuruh memanggil keponakannya itu, lalu katanya: "Wahai
keponakanku! Kaummu telah mendatangiku dan membicarakan soalmu dengan daku. Maka
jagalah dirimu dan tengganglah daku, dan janganlah daku diberi beban yang tak sanggup
aku memikulnya . . .!"
Apa jawaban dan bagaimana pendirian Rasulullah saw. waktu itu . . .? Rupanya orang
satu-satunya yang berdiri di sampingnya selama ini hendak berlepas tangan daripadanya.
Atau tampaknya ia tak hendak bersedia, atau tak mampu lagi menghadapi Qurasy yang
telah unjuk gigi.
Tapi Rasulullah tidak ragu-ragu untuk menjawab serta semangatnya tak pernah kendor!
Tidak, bahkan ia tak mencari-cari kalimat lebih dulu untuk memantapkan keyakinannya!
Karena ketika itu keyakinannya bangkit tegak di atas singgasana keguruan dan
mengajarkan kepada manusia pelajaran yang teramat penting serta membacakan prinsip-
prinsipnya yang mendasar.
Demikianlah ia berbicara, dan kita tidak tahu apakah yang berkata itu manusia, ataukah
seluruh wujud ini yang sedang berdendang:
Wahai paman, andainya mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan
di tangan kiriku, agar aku meninggalkan pekerjaan ini, tiadalah aku hendak me-
ninggalkannya, sampai aku berhasil, atau tewas dalam menunaikannya . . .!
Salam atasmu wahai Nabi, rahmat Allah serta berkah-Nya !
Wahai pemimpin laki-laki, kata-katamu itu adalah kata-kata laki-laki!
Dengan segera Abu Thalib mengumpulkan kembali segala keberaniannya dan
keberanian nenek moyangnya, lalu digenggamnya erat-erat tangan kanan keponakannya
seraya katanya: "Katakanlah apa yang kamu sukai, dan demi Allah, saya takkan
menyerahkanmu karena suatu apapun untuk selama-lamanya . . .!"
Tetapi ternyata, walaupun pamannya itu mempunyai kemampuan, tiadalah Muhammad
saw. hendak memperoleh perlindungan dan keamanan daripadanya, bahkan sebaliknya
Nabi Muhammadlah yang melimpahkan keamanan, keteguhan dan perlindungan itu kepada
orang-orang sekelilingnya . . .!
Nah, manusia manakah di antara orang-orang yang berbudi, yang menyaksikan
tontonan seperti ini, yang takkan tergugah hatinya dan lari mengejar Muhammad saw.,
demi cinta kasih, keimanan dan semangat pembelaan terhadap dirinya . . .?
Ketabahan hatinya membela kebenaran, keteguhannya mengandalkan risalat dan
kesabarannya menghadapi bahaya di jalan Allah, bukan di jalan diri atau karena
kepentingannya pribadi, semua itu sudah selayaknya akan mempesonakan akal yang cerdas
dan membangkitkan fikiran dinamis, hingga ia akan mengikuti cahaya yang bersinar dan
suara yang menghimbau, dan segera mendapatkan "orang jujur dan terpercaya" tadi yang
sengaja datang untuk mensucikan dan memberinya petunjuk.
Orang-orang melihat ia terancam bahaya dari segenap pen-juru, sedang hiburan yang
biasa diterima dari pamannya Abu Thalib dan isterinya Khadijah telah lenyap pula karena
kedua mereka meninggal dunia pada hari-hari yang berdekatan . . . . Barangsiapa yang
ingin hendak mengira-ngirakan sampai di mana penganiayaan dan betapa hebatnya
permusuhan yang dilancarkan oleh orang-orang Quraisy terhadap Rasul yang sebatangkara
itu, cukuplah bila diketahui bahwa Abu Lahab sendiri yang menjadi seteru dan musuhnya
terbesar, pada suatu hari hatinya jadi pilu melihat apa yang dilihatnya, hingga ia
mema'lumkan akan melindungi dan membela Rasulullah serta akan menentang semua
permusuhan terhadap dirinya . . .!
Tetapi Rasulullah menolak pembelaan Abu Lahab itu, hingga ia tetap tegak
menyeruak, mati-matian membela pendirian dan bebas dari segala ikatan! Tidak seorang
pun yang akan dapat menyingkirkan bahaya daripadanya, karena tak seorang pun yang
mempunyai kemampuan berbuat demikian. Bahkan Abu Bakar, tokoh utama itu, tiada yang
dapat dilakukan olehnya kecuali hanyalah menangis . . . .
Pada suatu hari Rasulullah pergi ke Ka'bah, dan sementara beliau thawaf, tiba-tiba
beberapa orang bangsawan Quraisy yang sedang mengintai kedatangannya melompat dan
mengerumuninya, lalu kata mereka: "Kamukah yang mengatakan begini dan begitu
terhadap Tuhan-tuhan kami . . .?" Maka dengan tenang dijawabnya: "Benar, akulah yang
mengatakan-nya . . .". Mereka pun mencengkram pangkal bajunya hendak membunuhnya,
sementara Abu Bakar datang melihat kejadian itu meneteskan air mata sambil berkata:
"Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki, hanya karena ia mengatakan bahwa
Tuhannya Allah . . .?"
Kemudian, barangsiapa yang menyaksikan peristiwa Rasul-ullah di Thaif, maka ia
akan melihat bukti-bukti kebenaran dan pengurbanannya, suatu hal yang sudah wajar
menjadi miliknya dan tak dapat digugat lagi! la menghadapkan tujuannya kepada kabilah
Tsaqif menyeru mereka mengabdikan diri pada Allah Yang Maha Esa lagi perkasa ....
Wahai, belum cukupkah kiranya apa yang diderita dari kaum dan keluarganya sendiri .
. .? Tidakkah beliau takut akan mendapat siksaan yang jauh berlipat ganda dari kaum yang
hendak didatanginya itu, yang antaranya dengan mereka tak ada pertalian darah dan
hubungan keluarga . . .?
Tidak, karena rupanya risiko tidak masuk sekali-kali dalam perhitungannya! Bukankah
Tuhannya Yang Maha Tinggi itu telah menitahkan kepadanya: "Hendaklah kamu
sampaikan!" Beliau teringat akan suatu hari di kala ejekan dan celaan kaumnya kepadanya
semakin meningkat. Maka kembalilah beliau ke rumah dan menyelimuti diri di tempat
tidurnya dalam keada-an duka dan kecewa. Tiba-tiba suara langit mengetuk pintu hatinya
dan wahyu pun segera datang, menyampaikan perintah yang telah disampaikan padanya di
gua Hira dulu:
Hai orang yang berselimut! Bangkitlah dan sampaikanlah peringatan . . .!
Sadarlah beliau bahwa dirinya seorang muballigh dan juru nasihat! Dan kalau begitu
beliau adalah seorang Rasul yang tak menghiraukan bahaya dan tak boleh berpangku
tangan! Maka sekarang beliau harus pergi ke Thaif untuk menyampaikan kalimat Allah
kepada penduduknya.
Ketika itu datanglah penduduk Thaif mengepungnya. Rupanya mereka lebih jahat lagi
dari kawan-kawan mereka di Mekah ! Mereka hasut anak-anak dan orang-orang bodoh dan
tanggalkan sopan santun Arab yang dianggap keramat yaitu memuliakan tamu dan
melindungi orang-orang yang teraniaya. Mereka lepas-kan orang-orang bodoh dan anak-
anak itu mengejar Rasulullah dan melemparinya dengan batu.
Inilah dia orang yang mendapat tawaran dari orang-orang Quraisy dulu untuk
menerima tumpukan harta hingga beliau akan menjadi seorang yang terkaya! Atau berupa
kedudukan sehingga beliau akan menjadi pemimpin atau raja mereka! Tetapi tawaran itu
ditolaknya serta katanya: "Aku ini hanyalah hamba Allah dan utusan-Nya!"
Dan sekarang beliau sedang berada di Thaif dan pergi ke sebuah kebun lalu
melindungkan diri di balik pagar dari kejaran orang-orang bodoh tersebut . . . , tangan
kanannya terhampar dan tertadah ke langit memohon kepada Allah, sementara tangan
kirinya digunakannya sebagai tameng untuk melindungi wajahnya dari batu-batu lemparan.

Beliau bermunajat kepada Pencipta dan Pelindungnya, katanya: "Asal Engkau tidak murka
kepadaku, maka aku tidak peduli . . . , hanya keselamatan daripada-Mu akan lebih
melapangkan dada ini. . .!"
Memang, beliau adalah Rasul yang tahu bagaimana caranya memohon kepada Allah
tanpa mengabaikan tata tertib kesopanan! Sementara beliau menyatakan tidak peduli
terhadap penderitaan di jalan Allah, dinyatakannya pula bahwa beliau amat memerlukan
keselamatan yang akan dikaruniakan oleh Allah.
Dalam keadaannya seperti itu beliau tidak bangga dengan ketabahan dan
keberaniannya, dan tidak merasa sombong, karena kesombongan dalam keadaan dan
suasana seperti itu mungkin akan mengandung ma'na berjasa kepada Allah. Hal itu tidak
luput dari fikiran Nabi Muhammad. Oleh sebab itu cara sebaik-baiknya untuk menyatakan
ketabahan dan keberanian dalam situasi seperti demikian, ialah suara du'a dan kerendahan
diri. . .! Demikianlah beliau melanjutkan do'a dan permohonan ampunnya kepada Allah,
katanya:
"Ya Allah, kuadukan kepada-Mu kelemahan tenaga, kekurangan budi daya serta
kerendahanku terhadap manusia . . .! Ya Allah, Yang Teramat Pengasih di antara
yang pengasih! Engkaulah pelindung orang-orang yang lemah, dan Engkaulah
Rabbi! Kepada siapakah daku Engkau serahkan . . .? Apakah kepada orang yang
jauh yang akan menerimaku dengan wajah masam, ataukah kepada musuh yang
akan berlaku leluasa dan bersifat kejam . . .? Tetapi asal saja Engkau tidak
murka kepadaku, maka aku tidak peduli, hanya keselamatan dari-Mu akan lebih
melapangkan hamba-Mu ini. . .! Aku berlindung dengan nur wajah-Mu yang
menerangi kegelapan dan menjamin kebaikan dunia akhirat, dari amarah-Mu
yang akan menimpa diriku dan murka-Mu yang akan membinasakan daku.
Kumohon ridla-Mu sampai kuperolehnya, dan tiada daya maupun tenaga kecuali
dengan-Mu juga . . .!"
Kecintaan manakah yang mendorong Rasul memikul tugas da'wahnya . . .? Seorang
diri sebatang kara . .., akan berhadapan dengan tipu daya manusia . ..! Tak satu pun dari
sarana kehidupan duniawi yang dapat menyokong perjuangannya, tetapi ia tetap bertahan
dengan kegigihan yang tak pernah kendor dan kecintaan yang tak pernah pudar.
Ketika kembali ke Mekah dari Thaif, beliau dilihat orang bukan terpukul atau putus
asa, bahkan bertambah semangat dan meningkat gembira. Didatanginya suku-suku dan
kabilah-kabilah, ditemuinya mereka di dusun-dusun dan kampung-kampung mereka. Suatu
hari di suku Kindah, suatu hari pula di Bani Hanifah, hari yang lain di Bani 'Amir.
Demikian seterusnya suku demi suku, kabilah demi kabilah.
Kepada mereka semua dikatakannya: "Saya ini adalah utusan Allah kepadamu. Ia
menyuruhmu beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan
agar kamu meninggalkan penyembahan lain-Nya berupa berhala-berhala . . .!
Di perkampungan kabilah-kabilah yang dekat letaknya, Abu Lahab selalu
mengikutinya seraya meneriakkan kepada orang-orang itu: "Jangan percaya kepadanya, ia
hanya hendak membawa kalian kepada kesesatan . . .!"
Demikianlah dalam kedudukan sulit ini, ketika beliau dilihat orang hendak mencari
orang-orang yang mau beriman dan menjadi pembela, kiranya yang dijumpainya ialah
tentangan dan permusuhan!
Dan mereka lihat beliau menolak tawar-menawar, begitu pun menjual keimanan
dengan harta dunia, apa lagi kalau hanya dengan sekedar janji akan member! imbalan
kedudukan dan kekuasaan.
Di musim pancaroba itu beliau mendatangi Bani 'Amir bin Sha'sha'ah dan duduk
membicarakan dengan mereka perihal Allah swt. sambil membacakan ayat-ayat-Nya.
Mereka bertanya kepadanya sebagai berikut: "Bagaimana pendapat anda, seandainya kami
bai'at kepada anda mengenai urusan ini, kemudian anda dimenangkan Allah atas musuh

anda, apakah kami berhak menguasai urusan dni nanti . . .?" Rasulullah saw. pun
menjawab: "Semua urusan itu kepunyaan Allah, akan diserahkan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya . . .!"
Mendengar itu mereka pun bubar, seraya kata mereka: "Tak perlu bagi kami urusan ini
. . .!" Maka pergilah Rasulullah saw. meninggalkan mereka untuk mencari orang-orang
beriman yang tak hendak memperjual-belikan keimanan mereka dengan harga murah . . .
Orang-orang telah melihat usaha Nabi Muhammad, daji beberapa di antara mereka
telah ada juga yang beriman. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tetapi pada mereka
ditemukannya keakraban dan persahabatan. Tetapi Quraisy telah memutuskan agar masing-
masing kabilah bertindak menertibkan orang-orang yang beriman di antara warganya.
Maka secara tiba-tiba, bagai angin puyuh yang bertiup kencang, adzab dan siksa
menimpa Kaum Muslimin, hingga tiada satu macam kejahatan pun yang tidak dilakukan
oleh orang-orang musyrik. Dan secara tiba-tiba pula terjadilah peristiwa yang tidak
disangka-sangka, yaitu Muhammad saw. menyu-ruh semua Kaum Muslimin hijrah ke
Habsyi, hingga tinggallah beliau menghadapi penantangnya seorang diri. . .!
Nah, kenapa beliau tidak ikut berhijrah dan menyebarkan kalimat Allah di tempat yang
lain? Bukankah Allah Tuhan semesta alam, dan bukan hanya untuk bangsa Quraisy semata
. . .? Atau kenapa mereka tidak ditahan di sisinya, bukankah hal itu akan membawa
manfa'at yang nyata . . .? Walaupun jumlah mereka tidak seberapa, tetapi beradanya mereka
di Mekah akan menarik penduduk lainnya masuk Islam. Apalagi di kalangan mereka ada
beberapa orang tokoh yang termasuk bangsawan tinggi Quraisy, orang-orang kuat dan
gagah berani. Misalnya dari kalangan Bani Umayah ada Utsman bin 'Affan, Amar Bin Sa'id
bin Ash dan Khalid bin Sa'id bin 'Ash. Dari Bani Asad terdapat Zubair bin Awwam, Aswad
bin Naufal, Yazid bin Zam'ah dan Amar bin Umayah. Dari Bani Zuhrah tercatat pula nama-
nama Abdurrahman bin 'Auf, 'Amir bin Abi Waqqash, Malik bin Ahyab dan Muthallib bin
Azhar.
Pendeknya ada keluarga tokoh-tokoh yang telah tak shabar lagi menyaksikan
penganiayaan dan penyiksaan terhadap mereka. Maka kenapa Rasulullah saw. tidak
menahan mereka di samping-nya agar dapat membela dirinya dan menjadi sumber kekuatan
yang berada dalam tangannya . . .?
Di sini terlukislah dengan nyata kebesaran Muhammad Rasulullah . . .! Beliau tidak
menginginkan timbulnya fitnah atau perang saudara, walau tidak mustahil beliau akan
beroleh kemenangan, bahkan pada akhirnya pasti akan menang . . .! Dan di sini ternyatalah
pula rasa belas kasih dan perikemanusiaannya . . .! Beliau tidak tega melihat orang-orang
akan disiksa disebabkan dirinya, walau beliau tahu dan yakin bahwa pengurbanan itu
merupakan akibat yang lumrah dari setiap perjuangan mulia dan da'wah besar! Baginya
biarlah pengurbanan itu diberikan, jika tak ada jalan lain sebagai gantinya! Adapun
sekarang, karena masih ada jalan untuk menghindarkan bencana, maka biarlah Kaum
Muslimin menempuh jalan tersebut. . .!
Kemudian, kenapa beliau tidak ikut saja hijrah bersama mereka . . .? Jawabnya ialah
karena beliau belum lagi dititah untuk pergi. . .! Karena tempatnya ialah di sini, yaitu di
kandang berhala-berhala . . .! Beliau selalu mendengungkan Asma Allah Yang Maha Esa . .
. , dan akan senantiasa menerima penyiksaan tanpa gelisah dan keluh kesah . . . , asal saja
yang dianiaya itu dirinya pribadi, dan bukan golongan lemah yang beriman dan menjadi
pengikutnya . . . , dan bukan pula golongan bangsawan yang juga telah beriman dan
memasuki barisannya . . .
Nah, siapakah yang dapat mengemukakan kepada kita corak ketabahan, dan bentuk
pengurbanan yang dapat menyamai itu . . .? Itulah suatu keagungan yang tak dapat
dilakukan kecuali oleh ulul 'azmi, orang-orarig yang berkemauan baja di antara para Rasul
dan tokoh-tokoh pilihan . . .!

Sungguh, manusia dan Rasul bertemu dan berpadu satu pada diri Nabi Muhammad
secara amat mengagumkan! Dan orang-orang yang meragukan kerasulannya, tidak akan
bimbang tentang kebesarannya, begitupun tentang keluhuran jiwa dan kesucian
kemanusiaannya. Dan Allah yang lebih mengetahui di mana la akan menempatkan
kerasulannya itu, telah memilih seorang manusia yang dididik-Nya setinggi apa yang
diinginkan manusia untuk mencapainya, berupa keagungan, keluhuran dan kepercayaan.
Orang-orang mendengar dan menyaksikan bagaimana beliau mencela setiap sikap
berlebih-lebihan dalam memuliakan dirinya, bahkan juga terhadap sikap yang agak
berlebih-lebihan itu. Dibentaknya mereka hanya karena mereka bangkit berdiri untuk
menyambut kedatangannya, katanya:
Janganlah kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang asing, saling mendewakan
sesamanya.
Pada hari wafat puteranya (Ibrahim), terjadi gerhana sebagian dari matahari, hingga
orang-orang memperkatakan bahwa gerhana matahari itu terjadi disebabkan berkabung atas
kematian Ibrahim. Maka Rasul besar yang terpercaya itu segera mematahkan dan
menyalahkan anggapan tersebut sebelum meningkat menjadi takhyul. Beliau berdiri
berpidato di hadapan manusia antara lain katanya:
"Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua buah tanda dari tanda-tanda
Allah. Kedua gerhana bukanlah karena meninggalnya salah seorang di antara kamu, dan
bukan pula karena lahirnya . . ..'
Ia menjadi kepercayaan bagi otak dan fikiran manusia, dan berdirinya dalam
memenuhi tanggung jawab ini, baginya lebih baik dan lebih utama dari kemuliaan dan
penghormatan sepenuh bumi!
Muhammad saw. meyakini sepenuhnya bahwa kemunculannya dalam arena kehidupan
manusia tiada lain hanyalah untuk merubahnya, dan bahwa beliau bukan hanya menjadi
utusan bagi Quraisy, bahkan bukan hanya bagi bangsa Arab semata, tetapi adalah bagi
ummat manusia umumnya . . . Dan Allah swt. telah membukakan penglihatannya
menembus jarak jauh yang akan dicapai oleh da'wahnya, yang akan dinaungi oleh bendera
dan panji-panjinya. Maka telah disaksikannya dengan mata kepalanya masa depan Agama
yang diberitakan kepadanya, serta keabadian mutlak yang akan dimilikinya, sampai bumi
dan segala isinya kembali ke tangan Maha Penciptanya ....
Namun semuanya itu, segala yang terdapat pada dirinya, begitupun pada Agamanya,
serta keberhasilan yang belum pernah disaksikan dunia tolok bandingnya, menurun
pandangannya tidak lebih dari sekeping batu bata pada sebuah bangunan . . .! Hal ini
dinyatakan oleh orang besar itu dengan sejelas-jelasnya pada ucapannya:
Perumpamaan diriku dengan para Nabi sebelumku, adalah seperti seorang yang
membangun sebuah gedung, hingga diselesaikannya dengan amat indah dan sempurna,
kecuali suatu tempat sebesar batu bata di salah satu pojoknya.
Orang-orang berkeliling dan sama-sama heran menyaksikannya. Kata mereka:
Kenapa tidak diselesaikan tempat sebesar batu bata ini?" Nah, akulah batu bata yang me-
nutupi lobang kecil itu, dan akulah yang jadi penutup dari semua Nabi. . .!
Maka segala kehidupan yang dijalaninya .... Segala perjuangan dan kepahlawanannya
.... Segala kebesaran dan keluhurannya ....
Segala kemenangan yang telah dicapai oleh Agamanya di waktu hidupnya, dan segala
kebahagiaan yang diketahuinya akan dicapai setelah wafatnya .... Semua itu baginya tidak
lebih dari batu bata . . . , hanya sekeping batu bata pada sebuah bangunan antik dan raksasa
. . .!
Beliau sendirilah yang mema'lumkan hal ini, yang mengata-kan dan terus-menerus
menguatkannya. Kemudian ucapan yang dikeluarkannya ini tidaklah dimaksudkannya
untuk menutupi kehausannya akan kebesaran itu, tetapi dengan segala kerendah-an hati
pendirian itu ditegaskannya sebagai suatu hal yang semestinya demikian, hingga tanggung
jawab menyampaikan dan menyebarkannya merupakan sebagian dari esensi kerasulannya .
. .!
Sebabnya ialah karena kerendahan hati itu, walaupun merupakan salah satu tabi'at di
antara tabi'at-tabi'at Muhammad saw. yang telah berurat berakar, bukanlah menjadi bukti
yang memperkuat dan memperkukuh kebesarannya . . . ! Kebesaran Rasulullah mencapai
puncak yang tinggi dan dasar yang dalam, hingga menyebabkannya sebagai suatu bukti
yang tangguh dan tak dapat digugat tentang dirinya . . . !
Nah, inilah dia Mahaguru manusia dan penutup segala Nabi itu! Inilah dia cahaya
gemilang yang disaksikan ummat selagi hidup di kalangan mereka sebagai manusia,
kemudian setelah kepergiannya disaksikan mereka sebagai suatu hakikat kenyataan yang
takkan hilang dari kenangan . . .!
Dan kini, sewaktu kita pergi menjelang beberapa orang shahabatnya yang mulia di
halaman-halaman berikut dari buku ini, di kala kita heran takjub menyaksikan keimanan
dan pe ngurbanan mereka, dan keluhuran cita yang mereka bina dan tak ada taranya itu,
maka kita akan dapat menangkap secara jelas sebab-sebab keluarbiasaan ini. Yaitu tiada
lain dari cahaya yang menjadi ikutan dan pedoman mereka. Dan tiada lain dari Muhammad
Rasulullah, yang dibekali Allah secara lengkap kemampuan melihat kebenaran dan
kebesaran jiwa, menyebab-kan hidup ini jadi bernilai, dan jalan yang akan dilalui terang
benderang ....