Thursday, June 9, 2011

HABIB BIN ZAID
Lambang kecintaan dan pengurbanan.

Pada bai’at ‘Aqabah ke-II yang telah Sering kita sebut-sebut,
di mana 70 orang laki-laki dan dua orang wanita mengangkat bai’at kepada Rasulullah saw.
maka Habib bin Zaid dan bapaknya Zaid bin ‘Ashim termasuk 70 orang yang turut mengambil bagian . . . .
Ibunya yang bernama Nusaibah binti Ka’ab me­rupakan
salah seorang dari dua wanita pertama yang bai’at kepada Rasulullah
tersebut sedang satunya lagi ialah bibinya saudara dari ibunya Habib bin Zaid ….
Dengan demikian Habib adalah seorang Mu’min dari ang­katan lama,
di mana keimanan telah menjalari persendian sampai ke tulang sumsumnya.
Dan semenjak hijrahnya Nabi ke Madinah, ia selalu berada di sampingnya tak pernah ketinggalan
dalam suatu peperangan dan tidak pula melalaikan suatu kewajiban ….
Pada suatu ketika, di selatan jazirah Arab muncullah dua pimpinan pembohong durjana
yang mengakui diri mereka sebagai nabi dan menggiring manusia ke lembah kesesatan ….
Salah seorang di antara mereka muncul di Sana’a, yaitu al-Aswad bin Ka’ab al-’Ansi,
dan yang seorang lagi di Yamamah, itulah dia Musailamatul Kaddzab, Musailamah si pembohong besar ….
Kedua penipu itu menghasut anak buahnya untuk memusuhi orang-orang beriman
yang mengabulkan panggilan Allah serta Rasul-Nya di kalangan suku mereka,
begitupun untuk menolak para utusan Rasul ke negeri mereka.
Dan lebih celaka lagi, mereka menodai serta memandang enteng kenabian itu sendiri,
dan membuat bencana serta menyebar kesesatan di muka bumi… .
Pada suatu hari, dengan tidak disangka-sangka Rasulullah
didatangi oleh seorang utusan yang dikirim oleh Musailamah.
Utusan itu membawa sepucuk surat yang berisi:
“Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah, terkirim salam ….
Kemudian, ketahuilah bahwa saya telah diangkat sebagai serikat anda dalam hal ini,
hingga kami beroleh separoh bumi sedang bagi Quraisy separohnya lagi.
Tetapi ternyata orang-orang Quraisy aniaya … !”
Rasulullah memanggil salah seorang jurutulis di antara shahabat-shahabatnya,
lalu dituliskannya jawaban terhadap Musailamah, bunyinya sebagai berikut:
“Bismillahirrahmanirrahim . . . . Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah si pembohong.
Salam bagi orang yang mau mengikuti petunjuk ….
Kemudian ketahuilah bahwa bumi itu milik Allah,
diwaris­kan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya,
sedang akhir kesudahan akan berada di pihak orang-orang yang taqwa … !”
Kalimat-kalimat Rasulullah saw. itu tak ubah cahaya fajar,
yang membuka kedok pimpinan Bani Hanifah
yang mengira bahwa kenabian itu tiada bedanya dengan kerajaan,
hingga ia menuntut separoh wilayah berikut hamba rakyatnya … ! J
awab­an Rasulullah saw. itu dibawa langsung oleh utusan Musailamah,
yang ternyata bertambah sesat dan semakin menyesatkan . . . .
Penipu besar itu masih juga menyebarkan kebohongan dan kepalsuannya,
sementara hasutan dan penganiayaannya terhadap orang-orang beriman kian meningkat.
Maka rencana Rasulullah hendak mengirim surat kepadanya
menyuruhnya menghentikan ketololan dan penyelewengan-penyelewengannya.
Dan sebagai pembawa surat kepada Musailamah itu pilihan Rasulullah jatuh kepada Habib bin Zaid ….
Maka berangkatlah Habib melangkahkan kakinya dengan cepat
dan berbesar hati menerima tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Rasulullah saw.
serta menaruh harapan besar kiranya dada Musailamah terbuka lebar untuk menerima kebenaran,
hingga dirinya juga akan beroleh bagian pahala dan ganjaran besar ….
Dan akhirnya sampailah utusan Rasulullah itu ke tempat tujuannya.
Musailamah lalu membuka surat itu.
Walaupun isinya bagaikan cahaya fajar, ia tak mampu membacanya, bahkan menyilaukannya.
la semakin tenggelam dalam kesesatan.
Dan karena Musailamah itu tidak lebih dari seorang petualang dan penipu,
maka sifat-sifatnya juga adalah sifat-sifat penipu dan petualang . . . !
Demikianlah, ia tidak memiliki sedikit pun prikemanusiaan,
kebangsaan dan kejantanan yang dapat men­cegahnya menumpahkan darah seorang utusan yang membawa suatu surat resmi,
suatu pekerjaan yang amat dihormati dan dipandang suci oleh bangsa Arab umumnya … !
Rupanya sudah menjadi kehendak dari Agama besar ini … Islam …
hendak menambahkan dalam kelompok mata pelajar­an “kebesaran dan kepahlawanan”
yang sedang dikuliahkannya di hadapan seluruh ummat manusia,
suatu pelajaran baru yang kali ini diberikan dan sekaligus bertemakan “Habib bin Zaid . . . !
Musailamah penipu itu mengumpulkan rakyat dan memanggil mereka
untuk menghadiri suatu peristiwa di antara peristiwa-peristiwanya yang penting . . . !
Sementara itu utusan Rasulullah Habib bin Zaid dengan bekas-bekas siksaan dahsyat
yang dilakukan padanya oleh orang­-orang aniaya itu,
dibawa ke depan dengan rencana mereka hendak melucuti keberaniannya,
hingga di hadapan khalayak ramai ia akan tampak lesu dan patah semangat lalu menyerah kalah
dan ketika diminta untuk mengakui di depan mereka segera beriman kepada Musailamah,
hingga dengan demikian penipu itu akan dapat menonjolkan mu’jizat palsu
di depan mata anak buahnya yang sama tertipu ….
Kata Musailamah kepada Habib:
Apakah kamu mengakui bahwa Muhammad itu utusan Allah?
Benar, ujar Habib, saya mengakui bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Rona kemerah-merahan meliputi wajah Musailamah, lalu katanya lagi:
Dan kamu mengakuiku sebagai utusan Allah?
Tak pernah saya mendengar tentang itu … ! kata Habib.
Wajah penipu yang kemerah-merahan tadi berubah menjadi hitam legam karena keeewa dan murka!
Siasat telah gagal, dan tindakannya menyiksa utusan itu hanya percuma belaka,
sementara di hadapan khalayak ramai yang telah dipanggilnya berkumpul itu,
ia bagaikan menerima tamparan hebat yang menjatuhkan wibawa dan membenamkan­nya ke dalam Lumpur … !
Ketika itu Musailamah bangkit laksana seekor kerbau yang baru disembelih,
lalu dipanggilnya algojonya yang segera datang dan menusuk tubuh Habib dengan ujung pedangnya ….
Kemu­dian dilanjutkannya kebuasannya dengan menyayat dan membagi tubuh qurban potong demi potong,
onggok demi onggok, dan anggota demi anggota ….
Sementara pahlawan besar itu, tiada yang dapat dilakukannya
selain bergumam mengulang-ulang senandung sucinya.
“Lailaha illallah, Muhammadur Rasulul­lah….”.
Seandainya ketika itu Habib menyelamatkan dirinya dengan berpura-pura mengikuti keinginan Musailamah
dan menyampai­kan keimanan dalam lipatan kalbunya,
tiadalah iman itu akan kurang sedikit pun juga, dan tiadalah keislamannya akan ter­noda. . . .
Tetapi ia yang merupakan seorang tokoh yang bersama ayah bunda,
saudara dan bibinya telah menyaksikan bai’at ‘Aqabah,
dan semenjak saat yang menentukan dan penuh berkah itu memikul tanggung jawab atas janji
dan keimanannya secara penuh tanpa kurang, sedikit pun,
tiadalah akan tega merusak prinsip dan kehidupannya selama ini dengan waktu sesaat yang singkat itu . . . .
Oleh sebab itu tiadalah saat, yang sebaik-baiknya lewat di depan matanya untuk memenangkan seluruh pereaturan hidup,
seperti kesempatan satu-satunya ini yang akan dapat melukiskan secara gamblang seluruh kisah keimanan,
kebenaran, ketabahan, kepahlawanan, pengurbanan dan semangat berapi coati di jalan petunjuk dan kebenaran,
yang dalam rasa manis dan keharuannya hampir melebihi setup kemenangan dan keberhasilan manapun juga. . .
Berita syahid utusannya yang mulia ini sampai ke telinga Rasulullah saw.
Dengan hati tabah la menyerahkan diri kepada putusan Tuhannya.
Karena dengan nur Ilahi ia dapat melihat bagaimana akhir kesudahan Musailamah si pembohong ini,
bahkan dapat dikatakan menyaksikan tersungkurnya pimpinan itu dengan mata kepala
Adapun Nusaibah binti Ka’ab yaitu ibunda dari Habib,
lama sekali menggertakkan giginya.
Kemudian diucapkannya janji Sakti akan menuntut bela kematian puteranya dari Musai­lamah itu sendiri
dan akan ditancapkannya ujung tombak dan mata pedang ke badannya yang keji itu sampai tembus … !
Dan rupanya taqdir yang ketika itu sedang memperhatikan kekecewaan,
kesabaran dan ketabahannya, menyatakan ke­takjuban besar terhadap wanita itu,
dan pada waktu itu juga memutuskan akan berdiri di sampingnya sampai la dapat meme­nuhi sumpahnya . . .
Tidak lama kemudian tibalah saat terjadinya peristiwa
yang menentukan sejarah menangnya kebenaran yaitu perang Yama­mah . . . .
Khalifatul Rasul yaitu Abu Bakar Shiddiq mengerah­kan tentara Islam
menuju Yamamah di mana Musailamah telah menyiapkan pasukan terbesar ….
Nusaibah ikut dalam tentara Islam itu dan segera menerjun­kan dirinya dalam kancah peperangan,
tangan kanannya memegang pedang dan tangan kirinya menggenggam tombak,
sementara lisannya tiada hentinya meneriakkan: “Di mana dia Musailamah musuh Allah itu?”
Dan tatkala Musailamah telah tewas menemui ajalnya,
dan para pengikutnya berguguran bagai kapas yang berterbangan,
sedang bendera dan panji-panji Islam berkibar dengan megahnya,
Nusaibah berdiri tegak sementara tubuhnya yang mulia dan perkasa itu
penuh dengan luka-luka bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Ia berdiri mencari-cari wajah puteranya tercinta, Habib yang telah lebih dahulu syahid.
Didapatinya ia memenuhi ruang dan waktu . . . !
Setiap Nusaibah mengarahkan pandang ke setiap panji-panji yang sedang berkibar dengan megah dan jaya itu,
dilihatnya di sana wajah puteranya sedang tersenyum ria, penuh kemenangan dan kebanggaan ….
Benar dan tidak salah . . . !






HABIIB IBN ZAID
A Legend of Sacrifice and Love


In the Second Pledge of a `Aqabah which has been mentioned many times, 70 men and two women
of Al-Madiinah gave their allegiance to the Prophet (PBUH). Among those blessed men and women
were Habiib lbn Zaid and his father Zaid lbn `Aasim (May Allah be pleased with both of them).
His mother was Nusaibah bint Ka'b, one of the two women who were the first to give allegiance to the
Prophet (PBUH). The second woman was his maternal aunt. Thus, he was a veteran believer in whose
backbone and ribs faith ran rather than blood. He lived near the Prophet (PBUH) after he emigrated to Al-Madiinah.
There, he never missed an expedition in the cause of Allah or lagged behind.
One day the south of the Arab Peninsula witnessed the emergence of two presumptuous and
arrogant liars who claimed prophethood and tried to drag people into the swamp of sin and disbelief.
One of these impostors was called Al-Aswad Ibn Ka'b Al `Aansiy, from San'aa'. The other was Musailamah
the Liar from Al Yamaamah. Both impostors incited people against the believers in their tribes who
responded to what Allah ordained and who believed in His Prophet. They also goaded them against the
Prophet's messengers whom he sent to their lands. Moreover, they even went so far as to ignite suspicion
against prophethood itself and committed hideous mischief in the land, causing corruption and disbelief.
One day, the Prophet (PBUH) was surprised when a messenger arrived with a message from
Musailamah in which he said,
"From Musailamah Allah's Prophet to Muhammad Allah's Prophet. Peace be upon you.
We are your partner in prophethood; consequently, we have half of the earth and the
Quraish has the other half , but the Quraish want unjustly to have it all!"

The Prophet (PBUH) summoned one of his scribes and dictated this answer to Musailamah:
"In the name of Allah, the Most Beneficient, the Most Merciful.
From Muhammad the Prophet of Allah to Musailamah the Liar.
Peace be upon those who followed the right path. Verily, the earth is Allah's.
He gives it as a heritage to whom He will of His slaves
and the blessed end is for the pious and righteous persons who fear Allah."
The Prophet's words were direct and crystal clear. They exposed the liar of the Bani Haniifah who
thought that prophethood was a kingdom, so he demanded his piece of the cake, namely, half the earth
and its people. The messenger carried the Prophet's answer to Musailamah,
yet it only made him more mischievous and corrupt.
He went on spreading his falsehood and slander and went on abusing the believers and instigating
people against them. The Prophet (PBUH) thought it best to give him one last chance, so he sent a
message to convince him not to commit any more of his folly. He picked Habiib Ibn Zaid as his messenger.
Habiib hastened enthusiastically with the glorious mission the Prophet (PBUH) had entrusted him with.
He hoped that Musailamah's heart would be guided to the right path
and that he would rewarded endlessly in the Hereafter.
The traveler reached his destination. Musailamah the Liar read the Prophet's message, but he was
blinded by its light, which only made him more aberrant and arrogant.
Musailamah was really no more than a flagrant liar. He indeed behaved accordingly.
He lacked the least manliness, sense of honor or decency of the Arabs which
might have prevented him from shedding the blood of a messenger,
which was highly respected and even held sacred by all Arabs.

It was as though this noble religion Islam wanted to give humanity
a new lesson of greatness and heroism.
Only this time, both its subject matter and its tutor were one and the same person,
Habiib Ibn Zaid.
Musailamah the Liar called upon people to witness one of his so-called memorable days.
The messenger of the Prophet, Habiib Ibn Zaid, was brought in. It was clear from his wounds and bruises that
he had been abused and tortured severely by those criminals. They thought that they could strip him of
his valor so that he might appear in a state of complete humiliation and defeat before the crowd.
They hoped that he would then give Musailamah the credibility he craved when he called upon him to witness
to his fake prophethood before the crowd. Thus, the notorious liar would be able to make a fake miracle
that would cement his prestige among those whom he deluded.
Therefore, Musailamah asked Habiib,
"Do you bear witness that Muhammad is, indeed, the Messenger of Allah?"
Habiib answered boldly, "Yes, I do bear witness that Muhammad is, indeed, the Messenger of Allah."
Musailamah's face went white with humiliation and embarrassment yet he asked,
"Do you bear witness that I am the Messenger of Allah?" Habiib scornfully replied, "Nonsense!"
The impostor Musailamah's humiliated face darkened with spiteful madness. His scheme had failed.
His torture of Habiib had been futile. He was slapped so fiercely before the crowd which he himself had
gathered to witness his so-called miracle. This slap was so strong that it shattered his assumed dignity
once and for all. He became as violent as a wounded bull as he summoned his executioner, who rushed
and stabbed Habiib's body with his sword. He slew him, cutting his body into small pieces, one by one
Habiib made no sound beside chanting stoically,
"There is no god but Allah and Muhammad is His Messenger."
It was as though he wanted to celebrate his Islam until the very last moment of his life. Now, if
Habiib, on that day, had tried to escape this horrible death by a pretense of his faith in Musailamah's
prophethood, his faith would not have been questioned, doubted or blemished in any way. But he was a
man who had witnessed the Second Pledge of Al-'Aqabah along with his father, mother, brother, and
aunt, and ever since those decisive blessed moments he had carried upon his shoulders the responsibility
that ensued his oath and faith to the fullest. He could not for a moment hold his life and principles as
separable. Therefore, he found a rare opportunity to win his life once and for all. His life was an
embodiment of his faith. It embodied his stead-fastness, greatness, heroism, sacrifice, and martyrdom for
the sake of Right and Truth, the splendor of which surpassed all victories.
The Prophet received the sad news of Habiib's martyrdom with patience, for Allah's inspiration
made him see the future fate of Musailamah. He could almost see his death with his own eyes. As for
Nusaibah bint Ka'b, Habiib's mother, she gnashed her teeth for a long while on hearing the terrible deed,
then she swore a solemn oath to avenge her son's death upon Musailamah
and to thrust her sword and spear right into his wicked body.
It seemed that fate watched her anguish, patience, and courage on receiving this news and showed
great admiration and sympathy for her calamity
and decided all at once to stand by her until she fulfilled her oath.
After a short while, the Battle of Al-Yamaamah took place.
Abu Bakr As-Siddiiq, the Prophet's caliph,
organized an army to march to Al-Yamama
where Musailamah had already organized a huge army.
Nusaibah marched along with the Muslim army and threw herself into the battlefield armed with a
sword in her right hand and a spear in her left one. She kept on shouting,
"Where are you Musailamah, you enemy of Allah?"
When Musailamah was killed and his followers were like carded wool, the standards of Islam
fluttered victoriously and proudly. Nusaibah's strong and brave body was strained with spear wounds .
She stood there recalling the amiable face of her beloved son that seemed to linger about the place.

Wherever she looked, she saw the face of her son Habiib.
It was somewhere out there smiling contentedly on every victorious fluttering flag.