Thursday, June 9, 2011






(37)
UTBAH BIN GHAZWAN
"Esok lusa akan kalian lihat Pejabat-pejabat Pemerintah yang lain daripadaku"


Di antara Muslimin yang lebih dulu masuk Islam, dan di antara muhajirin pertama yang hijrah ke Habsyi,
kemudian ke Madinah . .. ,
dan di antara pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya yang telah berjasa besar di jalan Allah,
terdapat seorang laki-laki yang berperawakan tinggi dengan muka ber­cahaya dan rendah hati,
namanya Utbah bin Ghazwan ….
la adalah orang ketujuh dari kelompok tujuh perintis yang bai’at berjanji setia,
dengan menjabat tangan kanan Rasulullah dengan tangan kanan mereka,
bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang memegang kekuatan dan kekuasaan
serta gemar menuruti nafsu angkara ….
Pada hari-hari pertama dimulainya da’wah dan pada hari-hari penderitaan dan kesukaran,
Utbah bersama kawan­-kawannya telah memegang teguh suatu prinsip hidup yang mulia,
yang kelak kemudian menjadi bekal dan makanan bagi hati nurani manusia
dan akan berkembang menjadi luas melalui perkembangan masa ….
Sewaktu Rasulullahsaw. menyuruh shahabat-shahabatnya berhijrah ke Habsyi,
termasuklah Utbah di antara orang muha­jirin itu . . . .
Tetapi kerinduannya kepada Nabi saw. tidak membiarkannya menetap di sana,
segeralah ia menjelajah daratan dan mengarungi lautan kembali ke Mekah,
lalu tinggal di sana di samping Rasul hingga datang saatnya hijrah ‘ke Madinah,
maka Utbah pun hijrahlah bersama Kaum Muslimin lainnya.. .
Dan semenjak orang-orang Quraisy melakukan gangguannya dan melancarkan peperangan,
Utbah selalu membawa panah dan tombaknya. Ia melemparkan tombaknya dengan ketepatan yang luar biasa,
dan bersama-sama kawan-kawannya orang­orang Mu’minin lainnya digunakannya panah
untuk menghancur­kan alam hidup dan berfikir usang dengan segala berhala dan kebohongannya.
Di waktu Rasul yang mulia wafat menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi ia belum lagi hendak meletakkan senjatanya
bahkan selalu berkelana berperang di muka bumi.
Dan ketika berhadapan dengan tentara Persi ia melakukan perjuangan yang tak ada taranya . . . .
Amirul Mu’minin Umar mengirimkannya ke Ubullah untuk membebaskan negeri itu dan membersihkan buminya
dari orang­orang Persi yang menjadikannya sebagai batu loncatan
untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang maju melintas wilayah-wilayah kerajaan Persi
serta untuk membebaskan negeri Allah dan hamba-Nya dari cengkraman penjajahan mereka ….
Dan berkatalah Umar kepadanya sewaktu melepaskan bersama tentaranya:
“Berjalanlah anda bersama anak buah anda,
hingga sampai batas terjauh dari negeri Arab, dan batas terdekat negeri Persi
Pergilah dengan restu Allah dan berkah-Nya . . . !
Serulah ke jalan Allah siapa yang mau dan bersedia … !
Dan siapa yang menolak hendaklah ia membayar pajak
Dan bagi setiap penantang, maka pedang bagiannya, tanpa pilih bulu …
Tabahlah menghadapi musuh serta taqwalah kepada Allah Tuhanmu … !”
Pergilah Utbah memimpin pasukannya yang tidak seberapa besar itu hingga sampai ke Ubullah . . .
Ketika itu orang-orang Persi telah menyiapkan bala tentara mereka yang terkuat.
Utbah pun menyusun kekuatannya dan berdiri di muka pasukannya sambil membawa tombak
di tangannya yang belum pernah meleset dari sasarannya semenjak ia berkenalan dengan tombak.
Ia berseru di tengah-tengah tentaranya: —
“Allahu Akhbar, sha­daqa wadah “, artinya “Allah Maha Besar, la menepati janjiNya.
Dan seolah-olah ia dapat membaca apa yang akan terjadi,
karena tak lama setelah terjadi pertempuran kecil-kecilan,
Ubul­lah pun menyerahlah dan daerahnya dibersihkan dari tentara Persi,
dan penduduknya terbebas dari kekejaman selama ini, yang mereka rasakan tak ubah dengan mereka..
dan benarlah Allah yang Maha Besar itu telah menepati janji-Nya … !
Di tempat berdirinya Ubullah itu,
Utbah membangun kota Basrah dengan dilengkapi sarana perkotaan termasuk sebuah mesjid besar...
Dan sekarang ia bermaksud meninggalkan negeri itu dan kembali ke Madinah,
menjauhkan diri dari urusan pemerintahan, tapi Amirul Mu’minin Umar keberatan dan menyuruhnya tetap di sana.
Utbah pun memenuhi keinginan khalifah, membimbing rakyat melaksanakan shalat,’
memberi pengertian dalam soal Agama, menegakkan hukum dengan adil,
serta memberi contoh teladan yang sangat mengagumkan tentang kezuhudan, wara dan kesederhanaan ….
Dengan tekun dikikisnya kemewahan dan sikap berlebih­-lebihan sekuat dayanya,
sehingga menjengkelkan mereka yang dipengaruhi oleh ni’mat kesenangan dan hawa nafsu ….
Pada suatu hari Utbah pun berdiri berpidato di tengah-tengah mereka, katanya:
”Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah saw.
sebagai salah seorang kelom­pok tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu,
sehingga bagian dalam mulut kami pecah-pecah dan luka-luka!
Di suatu hari aku beroleh rizqi sehelai baju burdah, lalu kubelah dua,
yang sebelah kuberikan kepada Sa'ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku …
Utbah sangat menakuti dunia yang akan merusak Agamanya.
Dan dia menakuti hal yang serupa terhadap Kaum Muslimin.
Karena itu ia selalu membimbing mereka atas kesederhanaan dan hidup bersahaja.
Banyak orang yang mencoba hendak merubah pendiriannya
dan membangkitkan dalam jiwanya kesadaran sebagai penguasa,
Serta hak-haknya sebagai seorang penguasa,
terutama di negeri-negeri yang raja-rajanya belum terbiasa dengan zuhud
dan hidup sederhana sementara penduduknya menghargai tanda-tanda lahiriah yang berlebihan dan gemerlapan.
Ter­hadap hal-hal ini Utbah menjawabnya dengan katanya:
”Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku
karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah. .. !”
Dan tatkala dilihatnya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak karena sikap kerasnya
membawa mereka kepada kewajaran dan hidup sederhana, berkatalah ia kepada mereka:
”Besok lusa akan kalian lihat pimpinan pemerintahan dipegang orang lain menggantikan daku … !”
Dan datanglah musim haji, diwakilkannya pemerintahan Basrah kepada salah seorang temannya,
dan ia pun pergilah menunaikan ibadah haji.
Sewaktu ia telah selesai menunaikan ibadahnya berangkatlah ia ke Madinah.
Di sana ia memohon kepada Amirul Mu’minin agar diperkenankan mengundurkan diri dari pemerintahan
Tetapi Umar tiada hendak menyia-nyiakan corak kepribadian dari orang-orang zuhud seperti ini
yang menjauhkan diri dari barang yang amat didambakan dan menjadi incaran orang-orang lain.
Pernah beliau berkata kepada mereka:
“Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku . !
Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri . . . ?
Tidak, demi Allah tidak kuidzinkan untuk selama-lamanya …
Dan demikianlah pula yang diucapkannya kepada Utbah bin Ghazwan . . . .
Dan karenanya mau tak mau Utbah harus patuh dan taat, maka ia pergi menuju kendaraannya,
hendak menungganginya kembali ke Basrah.
Tetapi sebelum naik ke atas kendaraan itu, ia menghadap ke arah kiblat,
lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang lemah lunglai itu ke langit sambil,
memohon kepada Tuhannya azza wajalla, agar ia tidak dikembalikan-Nya ke Basrah
dan tidak pula kepada pimpinan pemerintahan untuk selama-lamanya….
Dan doanya pun diperkenankan Tuhannya . . . .
Selagi ia dalam perjalanan ke wilayah pernerintahannya, maut dating menjemputnya . . . .
Ruhnya naik ke pangkuan Penciptanya, bersukacita dengan pengurbanan
dan darma baktinya, kezuhudan dan kesahajaannya
Begitupun karena nikmat yang telah di sempurnakan-Nya
dan oleh karena pahala yang telah disediakan untuk dirinya ….

`UTBAH IBN GHAZWAAN
Tomorrow You'll See the Nature of the Rulers after Me.
Among the foremost Muslims and the first Muhaajiruun to Abyssinia and then Al-Madiinah,
among the extraordinary fighters who proved themselves brave in the cause of Allah was this towering,
bright- faced, and humble-hearted man, Utbah lbn Ghazwaan.
He was among the first seven who embraced Islam and extended their right hands to the right hand of the
Messenger of Allah (PBUH). They pledged themselves to him while challenging the Quraish with all
their fortitude and power for revenge. In the first days of the mission, the days of difficulty and terror,
`Utbah Ibn Ghazwaan, together with his brothers, stood bravely, which turned out later to be the very
provision that nourished the human conscience and made it grow in the course of time.
When the Messenger of Allah (PBUH) ordered his Companions to emigrate to Abyssinia, `Utbah
went with them, but his yearning for the Prophet (PBUH) did not allow him to settle there. Soon he
hurried back to Makkah where he stayed near the Messenger until it was time for the Hijrah to
Al- Madiinah. So, `Utbah emigrated again with the Muslims.
After the Quraish started their provocations and wars, `Utbah was always carrying his lance and
bow, using them expertly and contributing with his believing brothers to the destruction of the old world,
including all its idols and lies. He did not, however, put his weapons down after the noble Messenger had
died, but kept fighting. His jihaad against the Persian armies was great.
The Commander of the Faithful `Umar Ibn Al-Khattaab sent him to conquer Al-Abullah and purify
its land of the Persians who regarded it as a dangerous zone of action from which to launch out at the
Muslim troops that would be marching across the land of the Persian Empire, trying to save the countries
and slaves of Allah. While `Umar was bidding him and his army farewell, he said, "Proceed on your way
until you reach the remotest Arab country and the nearest foreign country. Go, and may Allah bless you.
Invite to Allah whoever answers you, and impose jizyaad upon whoever refuses
or else use your sword without mercy. Wear the enemy down, and fear Allah your Lord."
Utbah advanced, heading an army that was not big until they reached Al-Abullah, where the
Persians were massing one of their strongest armies. `Utbah organized his troops and stood at the front
carrying his lance that never missed its target. He called out his soldiers,
"Allahu akbar (Allah is the Greatest), and Allah will fulfill His Promise,"
as if he were reading something invisible. It was no more
than blessed patrols before Al-Abullah surrendered. Its land was purified of the Persian soldiers, its
people were liberated from the tyranny that had often tormented them,
and the Great Allah had fulfilled His promise.
In the same place as Al-Abullah, `Utbah planned the city of Al Basrah, constructed it, and built its
great mosque. When he wanted to leave the city and return to Al-Madiinah, escaping from the
responsibilities of rule, the Commander of the Faithful ordered him to stay. `Utbah stayed in his place
leading people in prayer, instructing them in religion, judging between them with justice, and giving
them the most wonderful example in asceticism, piety, and simplicity. He fiercely fought the
extravagance and luxury of those who liked comforts and desires.
One day he made a speech addressing them. He said. "By Allah, I was the seventh of the first seven
with the Messenger of Allah (PBUH), eating nothing but leaves of trees until
the corners of our mouths were sore. I was given a garment.
I cut it into two halves and gave one half to Sa'd lbn Maalik and I wore the other half."

`Utbah used to fear the extravagance of the world, and in order to protect his religion and the
Muslims, he tried to persuade them to practice asceticism and moderation. Many people tried to turn him
from his way, to arouse a sense of ruling in his soul, and draw his attention to the right of ruling,
especially in those countries that were never accustomed to such type of ascetic rulers and whose people
used to respect high-ranking supercilious appearances. But `Utbah used to answer them saying:
"I seek refuge in Allah from being great in your world and small in the sight of Allah."
When he found people bored with his austerity he induced them
to be earnest and modest saying,
tomorrow you'll see the rulers after me."
When it was the Hajj season, he appointed one of his brothers as successor and went to make the Hajj.
When he finished, he traveled to Al-Madiinah and asked the Commander of the Faithful to discharge him
from the rule. But `Umar would not lose the reverent ascetic who fled from what the mouths of mankind
watered for. He used to say to them, "You burden me with your trusts and leave me alone? No, by Allah,
I'll never discharge you." And that was what he said to `Utbah Ibn Ghazwaan.
As `Utbah could do nothing but obey, he took his camel and rode it back to Al-Basrah. But before
he mounted it he turned to the Qiblah and raised his imploring hands to heaven and invoked Almighty
Allah not to return him to Al-Basrah or to government rule again.
His invocation was answered, for while he was on his way to this rule, he died.
His spirit was given up to its Creator.
It was happy with what it had exerted and given, with its asceticism and continence,
with the favor that Allah had completed upon it, and with the reward that Allah had prepared for it.